Berita  

Diskusi Film Hijrah Digital:AI dan Literasi untuk Mahasiswa

Diskusi film

SerambiMuslim.com — Program Studi Magister Studi Agama-Agama (SAA) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) berupa diskusi film berjudul Hijrah Digital di Aula Selatan Pascasarjana pada Kamis, 15 Mei 2025.

Acara ini diikuti oleh 40 mahasiswa lintas jurusan di lingkungan UIN Bandung dan merupakan bagian integral dari program PKM S2 SAA yang bekerjasama dengan Bersinergi Institute.

Diskusi tersebut dipandu oleh Neng Hannah dan menghadirkan sejumlah narasumber ahli, antara lain: Adhe Bhakti, peneliti sekaligus aktivis deradikalisasi dari PAKAR; Yeni Huriani, akademisi kajian budaya dan agama; Dindin Solahudin, Wakil Direktur Pascasarjana; serta Taufiq Rahman, pakar studi Islam dan media.

Kegiatan ini merupakan lanjutan dari pelatihan bertajuk “Literasi Digital untuk Pemuda: Memahami Peran Artificial Intelligence (AI)” yang telah dilaksanakan pada 10–11 Desember 2024. Pada pelatihan tersebut, peserta dibekali kemampuan mengenali konten manipulatif berbasis AI, meningkatkan kewaspadaan, dan mengasah kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi pengaruh negatif di ranah digital.

Bersinergi Institute turut berkontribusi melalui produksi film Hijrah Digital, sebuah karya reflektif dan edukatif yang mengangkat kisah nyata Ning An-An Aminah, seorang peserta pelatihan yang menghadapi dinamika dakwah dan kehidupan di era digital. Film ini menampilkan bagaimana media sosial menjadi wahana dakwah pesantren Ar-Risalah Ciamis yang dipimpinnya bersama suami.

Karya tersebut mengeksplorasi fenomena keberagamaan generasi muda yang semakin aktif di ruang digital sekaligus membuka ruang refleksi kritis terkait dinamika dakwah, identitas, dan perubahan sosial berbasis platform daring.

Dalam sambutannya, Ketua Prodi S2 SAA, Taufiq Rahman menegaskan bahwa kegiatan ini selaras dengan visi program studi dalam mempromosikan pendidikan perdamaian dan toleransi di Jawa Barat.

Sementara itu, Anggi Putri Kumala, Social Media and Capacity Building Specialist dari Bersinergi Institute, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari proyek “Building Youth Resilience to AI-powered Disinformation and Propaganda”.

Proyek tersebut lahir dari kekhawatiran atas potensi penyalahgunaan teknologi AI untuk menyebarkan disinformasi dan hoaks di media sosial. Sebagai respons, Bersinergi Institute menyelenggarakan pelatihan di tiga kota di Jawa Barat dan tiga kota di Jawa Tengah, serta dua Focus Group Discussion (FGD), dengan produksi film sebagai komponen utama edukasi publik.

Pembuatan film Hijrah Digital menjadi salah satu komponen penting pendukung proyek tersebut. “Tujuan pembuatan film ini adalah untuk menciptakan living memory dari rangkaian pelatihan. Kami percaya film merupakan media pembelajaran yang efektif dalam menyampaikan edukasi kepada masyarakat,” tegas Anggi.

Menurutnya, penyampaian materi pelatihan, khususnya kepada audiens muda, tidak cukup hanya menggunakan metode ceramah. Gambar, film, animasi, dan infografik menjadi pelengkap penting agar materi mudah diterima dan dipahami. “Film ini bisa diputar dan didiskusikan dalam kegiatan-kegiatan berikutnya sebagai alat bantu pengajaran,” tambahnya.

Wakil Direktur III Pascasarjana, Dindin Solahudin, membuka acara dengan menegaskan pentingnya membangun narasi digital yang inklusif dan damai. Ia mengutip surat Al-Anfal ayat 72, bahwa orang beriman yang memahami dampak negatif media sosial harus berhijrah secara literatif dan memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Dalam sesi pengantar film, Adhe Bhakti menekankan urgensi membangun ketahanan pemuda terhadap disinformasi berbasis AI, seperti fenomena deepfake. “Daya kritis bukan semata soal kecerdasan, tetapi kesadaran untuk selalu memverifikasi informasi, bahkan yang datang dari lingkungan terdekat,” ujarnya.

Yeni Huriani memberikan tanggapan dengan membagikan empat prinsip penting dalam membangun literasi digital: pertama, keterampilan teknologi yang memadai; kedua, budaya digital yang sehat; ketiga, etika berdasarkan nilai-nilai teologis; dan keempat, keamanan diri dalam menggunakan akun media digital.

Guru Besar Fakultas Ushuluddin ini juga menegaskan bahwa perempuan tidak boleh terpinggirkan dalam ruang publik digital. “Saya menolak anggapan suara perempuan sebagai aurat. Justru diamnya perempuan membuat mereka menjadi korban kekerasan yang berulang. Dalam agama, perbedaan pandangan selalu ada, semua kembali pada keyakinan masing-masing,” jelasnya.

Diskusi berlangsung dinamis dan penuh refleksi. Para mahasiswa tidak hanya mengkritisi pesan film, tetapi juga mengkaji bagaimana teknologi, termasuk AI, dapat dimanfaatkan untuk mendukung narasi keagamaan yang inklusif, toleran, dan kontekstual.

Dalam pengakuannya, Nyimas bercerita, “Saya lahir dari keluarga patriarki; kakek saya menikah sembilan kali dan memiliki 28 anak, ayah saya anak pertama. Di keluarga saya, perempuan tidak bebas dan langkahnya terbatas. Namun, saya tetap akan berdakwah meski seringkali wanita pendakwah menjadi objek negatif dari orang-orang yang tidak bisa menahan nafsu,” tegasnya.

Menurut Kang Adhe, “Semakin banyak waktu yang dihabiskan di layar, semakin besar risiko terpapar disinformasi. Kita tidak bisa sepenuhnya mencegahnya, hanya mampu memilah informasi. Bahkan hoaks kadang datang dari keluarga sendiri. Daya kritis tidak tergantung kepintaran, selalu ingat untuk menghadapi disinformasi dengan konfrontasi,” jelasnya.

Empat peserta juga menyampaikan refleksi pribadi mereka:

  • Rahman (S2 SAA Semester 2) bertanya, “Filmnya sangat relevan dengan kehidupan. Namun, bagaimana kita mengantisipasi perkembangan AI yang terus berubah?”
  • Akhwatul Azizah (S2 SAA Semester 2) berbagi pengalaman, “Saya pernah hampir menjadi korban investasi palsu, tapi akhirnya berhasil mengambil keuntungan dari situs serupa dengan modal kecil.”
  • Rima Fauziah (S2 SAA Semester 2) menyatakan, “Ada yang bilang perempuan tidak boleh eksis di medsos, tapi niat saya bukan pamer, melainkan memberi inspirasi.”
  • Nurfatihah (mahasiswa asal Malaysia) mengungkapkan kegelisahan serupa terkait keinginan berdakwah di media sosial seperti Ning An-An, namun khawatir melanggar syariat.

Diskusi ini merupakan kolaborasi antara Prodi S2 SAA UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Bersinergi Institute, lembaga nirlaba yang fokus pada pemberdayaan generasi muda melalui pendidikan dan media.

Hannah berharap, “Melalui diskusi ini, peserta dapat memahami dinamika hijrah di era digital, mencermati tantangan dan peluang dalam menyampaikan pesan keagamaan lewat media sosial. Selain memperkuat keterampilan literasi digital, kegiatan ini menjadi medium refleksi akademik dalam menanamkan nilai-nilai moderasi dan perdamaian di tengah kemajuan teknologi,” tutupnya.