Berita  

Haid saat Haji: Bagaimana Wukuf dan Tawaf Dilakukan?

Pembimbing Ibadah (Musytasyar Din) PPIH Arab Saudi, Abdul Moqsith Ghazali.

SerambiMuslim.com — Dalam pelaksanaan ibadah haji, tidak jarang muncul kekhawatiran dari jemaah perempuan mengenai hukum wukuf dan tawaf saat sedang haid. Namun, Konsultan Ibadah (Mustasyar Diniy) PPIH Arab Saudi, Abdul Moqsith Ghazali, menegaskan bahwa wukuf di Arafah tetap sah dilakukan meskipun dalam kondisi haid.

“Jangan khawatir bagi perempuan yang wukuf tapi masih haid, maka wukufnya tetap sah. Hanya saja ia masih menanggung kewajiban tawaf Ifadah yang disyaratkan dalam keadaan suci,” ujar Moqsith.

Ia menjelaskan bahwa dari seluruh rukun haji, hanya tawaf yang mensyaratkan kondisi suci dari hadas besar maupun kecil. Tawaf Ifadah adalah bagian penting dalam rangkaian ibadah haji dan tidak bisa ditinggalkan. Maka, jika seorang perempuan masih mengalami haid, ia harus menunggu hingga bersih sebelum menunaikannya.

Namun, jika menjelang kepulangan ke Tanah Air jemaah perempuan masih belum suci, maka menurut sebagian ulama seperti Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, diperbolehkan melakukan tawaf dengan ketentuan tertentu.

“Jemaah perempuan yang haid bisa mandi bersih terlebih dahulu, lalu menggunakan pembalut agar darah tidak menetes di area Masjidil Haram, kemudian melakukan tawaf. Ini dilakukan sebagai bentuk rukhsah (keringanan) karena kondisi darurat,” jelas Moqsith.

Ia menambahkan, pengaturan kepulangan jemaah Indonesia tidak sepenuhnya fleksibel karena telah ditentukan oleh sistem keberangkatan dan kepulangan yang ditetapkan otoritas.

Terkait niat umrah dari Madinah menuju Makkah bagi perempuan yang sedang haid, Moqsith menegaskan hal itu tetap diperbolehkan. Jemaah bisa berniat ihram di miqat Bir Ali, namun tidak melakukan tawaf dan sa’i hingga dalam keadaan suci. Selama menunggu, jemaah harus tetap menjaga kondisi ihramnya.

Permasalahan lain yang kerap ditemui adalah batalnya wudhu akibat bersentuhan kulit antara lawan jenis saat tawaf yang padat dan berdesak-desakan. Untuk ini, Moqsith menyarankan jemaah mengikuti pendapat Mazhab Hanafi.

“Dalam Mazhab Hanafi, bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan wudhu, berbeda dengan Mazhab Syafi’i yang kita anut di Indonesia,” jelasnya.

Moqsith juga membedakan antara ibadah salat dan tawaf. “Salat tidak boleh diselingi bicara, makan, atau minum, sementara dalam tawaf hal-hal tersebut diperbolehkan,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan bahwa saat dalam keadaan ihram atau saat tawaf, perempuan tidak diperkenankan memakai cadar. “Wajah dan telapak tangan perempuan bukan aurat, sehingga saat ihram, cadar harus dilepas,” tegasnya.

Penjelasan ini diharapkan memberi ketenangan bagi jemaah perempuan yang tengah menjalankan ibadah haji, agar tetap khusyuk dan yakin dalam menjalankan setiap rukun dengan pemahaman syar’i yang tepat.