Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hak yang sangat dinanti oleh para karyawan menjelang hari besar keagamaan. Bagi para pekerja, THR bukan sekadar bonus, melainkan bentuk penghargaan atas dedikasi dan kerja keras yang telah diberikan sepanjang tahun.
Namun, tidak semua perusahaan memenuhi kewajiban ini. Beberapa menunda, bahkan tidak membayarkan THR sama sekali, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai hukum dan etika dari praktik tersebut—terutama jika ditinjau dari perspektif ajaran Islam.
Dalam ajaran Islam, kesejahteraan pekerja mendapatkan perhatian khusus. Prinsip keadilan, amanah, dan tanggung jawab menjadi landasan utama dalam hubungan antara pemberi kerja dan pekerja. Apabila hak-hak pekerja, termasuk THR, tidak dipenuhi, maka muncul persoalan moral dan hukum yang perlu dikaji secara mendalam.
Dalam perspektif hukum Islam, perusahaan yang tidak membayarkan THR kepada karyawan dianggap melanggar prinsip keadilan dan tidak menunaikan kewajiban kepada pekerja. Meski pada mulanya THR bersifat sunnah atau anjuran, namun ketika pemerintah menetapkan pembayaran THR sebagai kewajiban hukum, maka menurut syariat, hukum membayar THR pun menjadi wajib.
“Oleh karena itu, menunda atau tidak memberikan THR kepada karyawan dianggap haram karena termasuk menahan hak orang lain yang seharusnya diterima tepat waktu.”
THR juga telah menjadi ‘urf (kebiasaan yang telah diakui dan berlaku dalam masyarakat) yang mengikat. Dalam fiqh, ‘urf dapat menjadi dasar penetapan hukum selama tidak bertentangan dengan nash.
Sebagai penguat, terdapat hadis Nabi Muhammad SAW yang menjadi rujukan:
“Barangsiapa yang diserahi suatu jabatan sedang dia tidak punya rumah, berikanlah rumah untuknya. Bila tidak punya istri kawinkanlah dia, bila tidak punya pembantu, berilah pembantu dan bila tidak punya kendaraan siapkanlah ia kendaraan. Siapa yang mengambil sesuatu selain itu dia adalah koruptor.”
(HR. Imam Ahmad)
Hadis ini menunjukkan pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar pekerja oleh pemberi kerja. Mafhum mukhalafah dari hadis tersebut juga mempertegas bahwa fasilitas yang layak bagi pekerja merupakan tanggung jawab pemberi kerja.
Hukum Positif: THR Diatur oleh Undang-Undang
Selain dari perspektif Islam, aturan terkait THR juga ditegaskan dalam hukum positif Indonesia, khususnya:
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal satu bulan secara terus menerus. THR harus dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Pengusaha yang terlambat atau tidak membayarkan THR dikenakan denda sebesar 5% dari total THR yang wajib dibayarkan dan Sanksi administratif, yang meliputi teguran tertulis, Pembatasan kegiatan usaha dan Pembekuan kegiatan usaha.
Baik menurut perspektif Islam maupun hukum positif di Indonesia, perusahaan yang tidak membayarkan THR kepada karyawan telah melanggar ketentuan yang berlaku. Dalam Islam, tindakan tersebut tergolong sebagai perbuatan zalim karena menahan hak orang lain. Sementara itu, secara hukum negara, perusahaan dapat dikenakan sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.