SerambiMuslim.com– Idulfitri seharusnya menjadi momen kebahagiaan dan kemenangan bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun, di beberapa negara mayoritas Muslim, Lebaran tahun 2025 dirayakan dalam suasana perang dan konflik bersenjata. Banyak warga yang harus menjalani hari raya di pengungsian, di tengah reruntuhan bangunan, atau dalam ketakutan akibat serangan yang terus berlangsung.
Berikut adalah empat negara mayoritas Muslim yang merayakan Idulfitri dalam kondisi perang:
1. Palestina
Israel kembali melancarkan serangan ke Palestina setelah gencatan senjata yang diberlakukan pada akhir tahun 2024 berakhir. Warga Gaza yang sebelumnya pulang dari pengungsian kini harus kembali mencari perlindungan selama Ramadhan dan Idulfitri.
Dilansir dari Al Jazeera, warga Palestina harus kembali mengungsi ke Rafah setelah Israel melancarkan serangan ke Gaza Selatan pada 31 Maret 2025. Serangan tersebut telah menewaskan puluhan warga sipil. Israel mengklaim bahwa operasi ini ditujukan untuk menumpas pejuang Hamas yang masih aktif di wilayah tersebut.
Kepala Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menyebut meningkatnya serangan Israel terhadap Gaza sebagai “salah satu masa tergelap bagi kemanusiaan kita bersama.”
Bersamaan dengan konflik ini, Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga mengeluarkan ancaman kepada kelompok Houthi di Yaman, dengan pernyataan bahwa “penderitaan sesungguhnya belum datang” jika mereka tidak menghentikan serangan terhadap jalur pengiriman barang di Laut Merah.
2. Libya
Libya masih dilanda konflik berkepanjangan akibat perang saudara yang belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch, negara Afrika Utara ini terus mengalami perpecahan politik antara dua pemerintahan saingan di wilayah timur dan barat. Kondisi ekonomi yang rapuh serta keberadaan kelompok bersenjata yang beroperasi tanpa kontrol semakin memperburuk situasi.
Meskipun konflik di Libya saat Idulfitri 2025 tidak setragis di Palestina, warga sipil tetap hidup dalam ketidakpastian akibat ketidakstabilan sosial, ekonomi, dan politik. Serangan sporadis dan tindakan represif terhadap kebebasan sipil masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat.
3. Yaman
Perang saudara di Yaman, yang dimulai sejak 2014, belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Konflik antara kelompok Houthi yang didukung Iran dan pemerintah Yaman yang diakui secara internasional terus berlanjut.
Pada Februari 2025, Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan darurat untuk membahas eskalasi konflik di Yaman. Gempuran udara serta blokade yang diterapkan di berbagai wilayah semakin memperparah krisis kemanusiaan. Menurut data dari Save the Children, jutaan warga Yaman, termasuk anak-anak, mengalami kelaparan akut akibat terbatasnya akses terhadap bantuan kemanusiaan.
4. Suriah
Suriah masih berjuang dengan dampak perang saudara yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Meskipun intensitas pertempuran telah berkurang, konflik antara pasukan pemerintah Suriah, kelompok pemberontak, serta serangan sporadis dari berbagai faksi tetap membuat situasi tidak kondusif.
Menurut laporan dari Syrian Observatory for Human Rights, serangan udara yang dilakukan oleh pasukan pemerintah serta bentrokan antara kelompok bersenjata masih terjadi di beberapa wilayah. Ribuan warga sipil di Suriah menghabiskan Idulfitri dalam ketidakpastian, tanpa akses yang memadai terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.
Keempat negara ini menggambarkan bagaimana konflik bersenjata dapat menghalangi perayaan Idulfitri yang seharusnya menjadi waktu damai bagi umat Islam. Meskipun berada dalam situasi sulit, masyarakat di daerah konflik tetap berusaha mempertahankan tradisi Lebaran dengan harapan akan datangnya kedamaian di masa depan.