SerambiMuslim.com– Tradisi mudik Lebaran yang menjadi momen tahunan masyarakat Indonesia menyimpan banyak cerita. Bagi Dr. H. Thobib Al-Asyhar, Direktur GTK Madrasah Kementerian Agama, mudik tahun ini terasa “agak lain”—mengutip sebuah judul film komedi horor. Bukan hanya karena pilihan moda transportasi yang berbeda, tetapi juga karena banyaknya perubahan sosial yang ia temui di kampung halaman.
“Tahun ini kami mencoba naik kereta Jakarta–Semarang pulang-pergi,” ungkapnya. “Kami ingin merasakan mudik tanpa harus berjibaku dengan antrean dan kemacetan.” Meski data Kementerian Perhubungan mencatat jumlah pemudik tahun ini menurun sekitar 24 persen dibanding tahun lalu, kepadatan tetap terasa di berbagai titik seperti rest area, tempat ibadah, dan fasilitas umum lainnya.
Namun, pengalaman mudik tersebut menyisakan kegelisahan tersendiri saat ia menyaksikan perubahan sosial yang cukup signifikan di desa. “Banyak hal yang berubah, baik dalam dinamika ekonomi, gaya hidup, maupun soal moralitas,” tuturnya.
Perubahan Pola Ekonomi: Dari Bertani ke Berdagang
Thobib mencatat terjadinya pergeseran mata pencaharian warga desa. Jika dulu sebagian besar bergantung pada pertanian, kini semakin banyak yang beralih menjadi pedagang. “Mereka menilai berdagang lebih cepat perputaran uangnya. Bertani harus sabar menunggu panen empat bulan—itu pun kalau tidak gagal panen,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa lonjakan minat berdagang tidak dibarengi dengan daya beli masyarakat yang cukup. “Dagangannya sepi. Persaingan pun ketat. Sekarang, satu RT bisa punya belasan penjual aktif di grup WhatsApp,” katanya. Tren ini bahkan menggerus eksistensi warung tradisional desa yang dulu menjadi pusat transaksi harian warga.
Media Sosial dan Perubahan Gaya Hidup
Gaya hidup masyarakat desa pun tak lagi jauh berbeda dengan warga kota. “Obrolan mereka sudah menyentuh isu-isu nasional, seperti korupsi, skandal publik, hingga AI,” ungkap Thobib. Ia menyebut keterpaparan terhadap konten digital sebagai faktor utama. “Dari Gus Baha hingga konten jorok, semua dikonsumsi dengan bebas.”
Pernyataan ini selaras dengan temuan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), yang pada 2024 melaporkan bahwa penetrasi internet di pedesaan telah mencapai lebih dari 76%, dengan peningkatan signifikan pada pengguna usia 10–19 tahun.
Kekhawatiran atas Pergaulan Bebas Remaja
Kegelisahan terbesar Thobib muncul saat mengamati perubahan pola pergaulan remaja desa. Ia menyebut banyak anak seusia SMP yang sudah mengendarai motor, merokok, bahkan terlibat dalam hubungan bebas. “Pacaran bebas, hamil di luar nikah, hingga miras—itu kini bukan hal yang asing,” ucapnya.
Tempat-tempat ibadah yang dulu ramai anak-anak kini mulai sepi. “Madrasah diniyyah makin sedikit peminat. Anak-anak lebih suka main TikTok. Orang tua juga cuek, asyik dengan gadget masing-masing,” kritiknya.
Fenomena ini turut diperparah oleh lemahnya sistem pendidikan informal dan minimnya pembinaan remaja di pedesaan. Laporan Komnas Perlindungan Anak 2023 juga mencatat kenaikan kasus anak yang terlibat dalam perilaku menyimpang di wilayah rural.
Krisis Pendidikan dan Keputusan Gadis Desa Jadi TKW
Thobib juga mencatat penurunan minat melanjutkan pendidikan ke pesantren. “Banyak remaja lebih tertarik bekerja. Gadis-gadis usia kuliah lebih memilih jadi TKW di Hong Kong, Korea, dan negara lain,” katanya. Meski tidak menyalahkan pilihan itu, ia menyebut fenomena ini sebagai “keprihatinan sosial” karena mencerminkan rapuhnya struktur ekonomi desa.
Tanda-Tanda Kontraksi Sosial
Menurut Thobib, semua ini adalah pertanda bahwa masyarakat tengah mengalami kontraksi sosial—yakni ketegangan dan disorientasi dalam nilai, perilaku, dan struktur ekonomi. “Entah ini kontraksi keberapa. Tapi yang jelas, ini menyangkut masa depan peradaban bangsa dan kemanusiaan kita,” ujarnya.
Ia menutup catatannya dengan peringatan: “Jika dibiarkan, saya khawatir ini akan menjadi bom waktu yang suatu hari meledak hebat—dan kita semua hanya bisa menyesal nanti. Wallahu a’lam.”