serambimuslim.com– Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra., Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Bahrain. Khalifah Umar dikenal sangat teliti dalam memantau para gubernurnya.
Beliau memiliki standar yang ketat, yaitu agar seorang gubernur saat turun dari jabatannya tidak memiliki harta lebih banyak dibanding saat ia diangkat.
Misalnya, jika saat diangkat mereka hanya memiliki dua pakaian, maka saat turun pun mereka harus tetap hanya memiliki dua pakaian. Bahkan, jika bisa, cukup dengan satu pakaian saja.
Khalifah Umar selalu mengutamakan kejujuran dan integritas dalam pemerintahan. Apabila seorang gubernur diketahui memiliki kekayaan yang berlebih, meskipun didapatkan dengan cara yang halal, beliau akan mengambil tindakan tegas.
Sebuah contoh yang mencerminkan kebijaksanaan Umar adalah saat beliau mengetahui bahwa Abu Hurairah memiliki harta berlebih selama masa jabatannya sebagai gubernur Bahrain. Umar lantas memeriksa asal usul kekayaan itu dan memanggil Abu Hurairah untuk menghadap ke Madinah.
Dalam pertemuan tersebut, Umar bertanya kepada Abu Hurairah, “Apakah kamu telah mencuri harta Allah, wahai Abu Hurairah?”
Dengan tenang Abu Hurairah menjawab, “Aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah.”
Umar kemudian melanjutkan, “Kalau begitu, dari mana kau dapatkan sepuluh ribu itu?”
Abu Hurairah pun menjelaskan, “Kudaku terus berkembang biak, dan sebagian harta itu juga berasal dari pemberian orang lain.”
Akhirnya, untuk menghindari fitnah dan menjaga kepercayaan Khalifah Umar, Abu Hurairah dengan ikhlas menyerahkan hartanya kepada beliau. Setelah itu, Abu Hurairah menengadahkan tangan ke langit seraya berdoa, “Ya Allah, ampunilah Khalifah!”
Tidak lama berselang, Khalifah Umar memanggilnya kembali dan menawarkan kembali jabatan gubernur Bahrain. Namun, kali ini Abu Hurairah menolak tawaran tersebut dan meminta maaf atas penolakannya.
Ketika Umar bertanya, “Mengapa?”
Abu Hurairah menjelaskan alasan penolakannya dengan sangat bijaksana, “Agar kehormatanku tidak dilecehkan, hartaku tidak dirampas, dan punggungku tidak dipukul.” Ia juga menambahkan, “Aku juga takut memberi keputusan tanpa ilmu dan berbicara tanpa belas kasih.”
Pernyataan ini menggambarkan kebijaksanaan Abu Hurairah yang lebih memilih menjaga amanah dan kejujuran daripada tergoda oleh kekuasaan.
Hikmah dari Kisah Umar dan Abu Hurairah
Kisah ini mengandung banyak pelajaran berharga yang relevan hingga saat ini.
Pertama, pelajaran tentang kehati-hatian dalam menjaga amanah. Khalifah Umar menunjukkan kehati-hatian dan ketegasannya dalam mengawasi para gubernurnya agar mereka tidak tergoda oleh kekayaan yang melimpah selama menjabat.
Di sisi lain, Abu Hurairah juga berhati-hati agar tidak tergoda oleh kedudukan dan memilih untuk melepaskan jabatan gubernur demi menjaga kehormatan dirinya. Sikap keduanya bertolak belakang dengan banyak pejabat di masa kini, yang justru seringkali berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi, bahkan terkadang dengan cara yang curang.
Kedua, kisah ini juga mengajarkan pentingnya menjunjung tinggi integritas dan menghindari sikap tamak atau mementingkan diri sendiri.
Kedudukan Abu Hurairah sebagai sahabat Rasulullah ﷺ dan sebagai gubernur tidak membuatnya menjadi orang yang tinggi hati atau merasa berhak mengumpulkan kekayaan.
Jabatan bagi mereka bukanlah sesuatu yang mudah dibagi-bagikan atau diwariskan kepada anak, menantu, atau kerabat dekat.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba mendapatkan jabatan, padahal kelak di akhirat ia akan menjadi sebuah penyesalan…” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra.).
Dari hadits ini, kita diingatkan bahwa jabatan sejatinya adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Pelajaran ketiga yang dapat dipetik adalah tentang ketulusan dan ketakwaan dalam menjalankan amanah.
Khalifah Umar dan Abu Hurairah sama-sama memahami bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab.
Berbeda dengan banyak pejabat saat ini yang seringkali terjebak dalam sistem yang menjerat mereka pada kepentingan pribadi atau kelompok, Umar dan Abu Hurairah memiliki ketulusan dalam menjalankan amanahnya.
Jabatan bagi mereka bukanlah alat untuk mencari keuntungan dunia, melainkan sarana untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Selain itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa dalam pemerintahan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, pejabat dituntut untuk memiliki ketakwaan dan bertanggung jawab atas jabatan yang mereka emban.
Di era sistem sekuler saat ini, menemukan pemimpin atau pejabat yang benar-benar amanah dan adil terasa semakin langka.
Banyak dari mereka yang justru terjerat oleh kepentingan pribadi, politik, atau golongan, sehingga melupakan kepentingan rakyat dan amanah yang diembannya.
Berbeda dengan kondisi di masa lalu ketika sistem Islam diterapkan secara kafah atau menyeluruh, ketika Islam menjadi landasan hidup berbangsa dan bernegara, ketakwaan komunal terbentuk dengan baik.
Hal ini menciptakan lingkungan di mana para pemimpin dan pejabat senantiasa menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, tanpa tergoda oleh nafsu kekuasaan atau kekayaan.
Inilah yang menjadi rahasia mengapa pemerintahan pada masa Islam dahulu dapat berjalan dengan adil, amanah, dan menyejahterakan rakyatnya.
Kisah Khalifah Umar dan Abu Hurairah memberikan teladan bahwa kekuasaan adalah amanah yang berat, yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Jabatan bukanlah sesuatu yang layak diperebutkan, tetapi merupakan sarana untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Bagi mereka yang benar-benar ingin meneladani para sahabat Rasulullah ﷺ, kisah ini adalah pengingat untuk senantiasa menjaga amanah, integritas, dan keikhlasan dalam setiap langkah hidup.