Serambimuslim.com– Bicara tentang sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menemani beliau dalam perjuangan dakwah Islam, terdapat satu kisah yang amat menginspirasi.
Kisah ini adalah perjalanan hidup Bilal bin Rabah, seorang budak yang berubah menjadi salah satu penghuni surga berkat keteguhan imannya dan pengorbanan luar biasa dalam mempertahankan keyakinannya.
Kisah ini tercatat dalam berbagai buku, termasuk buku Bilal bin Rabah karya Abdul Latip Talib, yang menceritakan perjalanan hidup sahabat Rasulullah ini dengan penuh keteguhan dan keimanan.
Bilal bin Rabah lahir di daerah as-Sarah, yang terletak di pinggiran kota Makkah, dalam keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya bernama Rabah, dan ibunya bernama Hamamah, seorang wanita berkulit hitam.
Oleh karena itu, Bilal sering disebut dengan julukan Ibnus-Sauda’, yang berarti “putra dari wanita berkulit hitam.” Meski berasal dari kalangan biasa, Bilal mempunyai keteguhan hati dan semangat hidup yang luar biasa.
Setelah orang tuanya meninggal, Bilal menjadi seorang budak yang dimiliki oleh keluarga Bani Abdul Dar. Pada suatu ketika, ia kemudian dijual kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum Quraisy yang dikenal sangat keras dan kejam.
Dalam masa perbudakannya, Bilal mengalami penderitaan yang sangat berat, namun ia tidak pernah melepaskan keyakinannya kepada Allah SWT.
Bilal termasuk di antara orang-orang yang pertama kali memeluk Islam. Ketika berita tentang keislamannya sampai ke telinga Umayyah, ia pun dihukum dengan cara yang sangat kejam.
Bilal dipukul, disiksa, dan dipaksa untuk meninggalkan agamanya. Ia bahkan dipaksa untuk menyebut nama-nama berhala Quraisy, seperti al-Latta dan al-Uzza.
Namun, mulut Bilal hanya bisa mengucapkan kalimat tauhid, “Allah… Allah… Allah.” Siksaan demi siksaan diterima dengan sabar, hingga akhirnya tubuhnya terluka parah, tetapi hatinya tetap teguh.
Pada suatu hari, Abu Bakar as-Sidiq yang mengetahui penderitaan Bilal merasa sangat tersentuh. Tanpa ragu, Abu Bakar membeli Bilal dari Umayyah dengan harga sembilan uqiyah emas, harga yang sangat mahal pada masa itu.
Ketika Umayyah mengira bahwa Abu Bakar hanya membeli Bilal dengan harga yang sangat rendah, ia pun kaget ketika Abu Bakar siap membayar harga yang lebih tinggi.
Abu Bakar sendiri, bagi Bilal, merasa bahwa kebebasan Bilal tidak ternilai harganya.
Dengan kebebasan yang diperolehnya, Bilal akhirnya bisa menjalani hidup baru sebagai seorang Muslim yang merdeka, sekaligus menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat dekat.
Setelah hijrah ke Madinah, Bilal semakin dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Ketika Masjid Nabawi selesai dibangun, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk mengumandangkan azan sebagai panggilan untuk shalat.
Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang akan menjadi muadzin pertama umat Islam? Dari sekian banyak sahabat, Nabi Muhammad SAW memilih Bilal untuk mengumandangkan azan.
Suara Bilal yang merdu dan lantang, serta imannya yang tak tergoyahkan, menjadikannya sebagai muadzin ar-Rasul (muadzin Nabi).
Bilal pun menjadi orang pertama dalam sejarah umat Islam yang mengumandangkan azan, panggilan yang menggema ke seluruh penjuru Madinah.
Sejak saat itu, Bilal dikenal sebagai muadzin pertama, dan suaranya menjadi simbol kebanggaan dan kebersamaan umat Islam dalam menjalankan ibadah shalat. Banyak orang memanggil nama “Bilal” sebagai gelar bagi muadzin.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Bilal merasa sangat terpukul dan kehilangan. Ia merasa bahwa tidak ada lagi yang pantas untuk dijadikan sebagai muadzin setelah Rasulullah tiada.
Ketika Khalifah Abu Bakar RA memintanya untuk kembali menjadi muadzin, Bilal menjawab dengan penuh kesedihan, “Aku hanya menjadi muadzin Rasulullah. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”
Sejak saat itu, Bilal tidak lagi mengumandangkan azan. Hanya sekali lagi ia mengumandangkan azan, yang terjadi setelah peristiwa perang Yarmuk, namun ia hanya mampu mengucapkan kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) sambil menangis.
Hatinya sangat rindu kepada Rasulullah, dan ketika menyebut nama Nabi, ia tak bisa menahan tangisnya.
Setelah kejadian itu, Bilal memutuskan untuk meninggalkan Madinah dan tinggal di Homs, Syria. Di sana, ia menghabiskan sisa hidupnya dalam kedamaian, jauh dari keramaian Madinah.
Meskipun tidak lagi mengumandangkan azan, Bilal tetap dikenang sebagai sosok yang sangat dekat dengan Rasulullah dan memiliki iman yang sangat kuat.
Bilal bin Rabah meninggal dunia dalam usia yang sangat lanjut, namun kisah hidupnya akan terus dikenang sebagai contoh kesabaran, keteguhan iman, dan pengorbanan.
Kisah Bilal bin Rabah mengajarkan kita tentang keteguhan iman dan pengorbanan dalam mempertahankan kebenaran. Bilal, yang semula seorang budak yang terhina, berubah menjadi salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling dihormati.
Keteguhan hatinya dalam mempertahankan keimanan di tengah-tengah siksaan yang sangat berat menjadi teladan bagi umat Islam sepanjang zaman.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari perjuangan hidup Bilal bin Rabah, yang menunjukkan bahwa dengan iman dan keteguhan hati, segala rintangan hidup bisa dihadapi dengan penuh keberanian dan kesabaran.