Serambimuslim.com– Imam Nawawi, atau nama lengkapnya Abu Zakariya Mahyuddin Yahya bin Syaraf bin Murii bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jumuah bin Hizam An-Nawawi Ad-Dimasyqi, adalah salah satu ulama besar bermazhab Syafi’i yang sangat dihormati.
Beliau lahir di Nawa, sebuah desa kecil yang terletak di dekat Damaskus, Suriah. Imam Nawawi wafat pada usia yang relatif muda, yakni 45 tahun, tepatnya pada tahun 676 Hijriyah, namun kiprah dan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang fiqih, masih sangat terasa hingga hari ini.
Imam Nawawi dikenal sebagai ulama yang sangat gigih dalam menuntut ilmu. Sejak kecil, beliau sudah menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap ilmu agama.
Ketika anak-anak lainnya masih sibuk bermain, Imam Nawawi justru sudah menghabiskan waktunya dengan menghafal Alquran.
Pengalaman ini menjadi dasar yang sangat kuat dalam perjalanan intelektualnya, yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu tokoh besar dalam dunia Islam.
Dalam bukunya Ushul Fiqih Mazhab Syafi’i, Ustaz Teuku Khairul Fazli menceritakan bagaimana perjalanan intelektual Imam Nawawi dimulai.
Pada usia 19 tahun, Imam Nawawi dibawa oleh orang tuanya untuk tinggal di Damaskus, yang saat itu dikenal sebagai pusat keilmuan dan kota santri yang sangat penting.
Di sana, beliau mulai mengenyam pendidikan di Madrasah Rawahiyah, salah satu madrasah terkemuka pada masa itu.
Orang tuanya memilih Damaskus karena kota tersebut dikenal sebagai pusat pembelajaran Islam yang memiliki banyak ulama besar dan pesantren yang sangat maju.
Imam Nawawi tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dalam waktu yang sangat singkat, beliau berhasil menghafal beberapa kitab penting.
Di antaranya adalah kitab Tanbih karya Abu Ishak Syairazi dalam waktu empat bulan setengah dan kitab Al-Muhazzab dalam waktu lima bulan setengah.
Kecepatan dan kedalaman pemahaman beliau membuat para guru dan sesama santri terkagum-kagum.
Karena kecerdasannya yang luar biasa, beliau pun akhirnya diangkat menjadi pengajar di Madrasah Rawahiyah, meskipun usianya masih sangat muda.
Namun, keistimewaan Imam Nawawi bukan hanya terletak pada kecerdasannya saja, tetapi juga pada kesungguhan dan ketekunannya dalam belajar.
Beliau memiliki kebiasaan yang sangat unik, yakni tidak pernah tidur di atas kasur. Jika rasa ngantuk datang menghampirinya, beliau akan tidur di atas kitab-kitab yang sedang ia pelajari.
Ketika terbangun, beliau merasa sangat menyesal dan berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sungguh saya telah menyia-nyiakan banyak waktu untuk tidur.”
Ketekunan dan dedikasi Imam Nawawi terhadap ilmu tidak hanya terbatas pada membaca dan menghafal kitab-kitab.
Dalam sehari-hari, beliau menghadiri 12 majelis ilmu yang berbeda. Majelis-majelis ini mencakup berbagai disiplin keilmuan, dari fiqih, ushul fiqih, bahasa Arab, hingga aqidah.
Beberapa di antaranya adalah kajian tentang al-Wasith karya Imam Al-Ghazali, al-Muhazzab karya Imam Abu Ishak Asy-Syairazi, Shahih Muslim, al-Luma’ karya Ibnu Jinni, dan Ishlahul Mantiq karya Ibnu Sakiit.
Selain itu, beliau juga menghadiri majelis-majelis yang membahas tentang Tashrif, Asma’ Rijal, serta kajian Ushuluddin yang merupakan cabang ilmu tentang aqidah.
Pengalaman dan perjalanan panjang Imam Nawawi dalam menuntut ilmu mencerminkan betapa besar tekad beliau dalam mencari pengetahuan.
Meski usia beliau terbilang singkat, karya-karya yang ditinggalkannya sangat berpengaruh bagi perkembangan ilmu Islam, khususnya dalam bidang fiqih.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Riyadh al-Salihin, sebuah kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan akhlak dan ibadah, serta Al-Minhaj, yang menjadi referensi utama dalam ilmu fiqih mazhab Syafi’i.
Salah satu sifat utama Imam Nawawi yang sangat patut dicontoh adalah sikap rendah hati dan istiqamahnya dalam belajar.
Beliau tidak hanya menuntut ilmu untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk memberi manfaat bagi umat Islam.
Oleh karena itu, dedikasi Imam Nawawi dalam mendalami ilmu agama, dan keberhasilannya dalam menciptakan karya-karya monumental, telah mengukir namanya sebagai salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam.