Keikhlasan Nabi dalam Menahan Lapar

Ilustrasi Nabi Muhammad SAW. (int)

SerambiMuslim.com– Pada suatu malam yang penuh berkah, Nabi Muhammad SAW sedang memimpin salat Isya berjamaah di masjid.

Seperti biasanya, beliau berdiri dengan penuh khusyu dan memimpin umat dengan cara yang sangat hati-hati, penuh perhatian, dan penuh keberkahan.

Namun, saat Rasulullah SAW sedang bergerak dalam salat, terdengar bunyi “kletak-kletik” dari tubuhnya, yang semakin jelas ketika beliau bergerak untuk rukuk dan sujud. Suara tersebut cukup terdengar oleh para jamaah yang hadir.

Para sahabat yang hadir pun mulai khawatir. Mereka merasa cemas, bertanya-tanya dalam hati, “Apakah Rasulullah SAW sedang sakit? Mengapa tubuh beliau menggigil dan mengeluarkan suara seperti itu?”

Khawatir atas keadaan Rasulullah SAW, Umar bin Khattab yang dikenal sebagai sahabat yang sangat mencintai Nabi pun mendekati beliau setelah salat selesai.

Umar bertanya dengan penuh rasa cemas, “Wahai Rasulullah, apakah engkau sedang sakit?”

Namun, Nabi SAW dengan tenang menjawab, “Tidak, aku sehat walafiat.”

Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab tidak langsung puas dan bertanya lagi, “Namun mengapa, wahai Rasul, saat engkau bergerak dalam salat, terdengar bunyi berkeretakan seperti itu? Apakah engkau merasa sakit?”

Nabi Muhammad SAW tetap menjawab dengan senyuman, “Tidak, aku segar bugar.”

Namun, para sahabat tetap merasa khawatir dengan keadaan Rasulullah SAW. Maka, Rasulullah SAW memutuskan untuk membuka jubahnya, dan apa yang dilihat oleh para sahabat begitu mengejutkan.

Ternyata, di perut Nabi Muhammad SAW terikat sebuah kain selempang, yang di dalamnya terdapat batu-batu kecil yang diikatkan pada perut beliau untuk menahan rasa lapar.

Para sahabat pun semakin terharu dan penuh rasa iba. Mereka melihat bagaimana Rasulullah SAW yang selalu mengutamakan umatnya, bahkan mengikatkan batu pada perutnya untuk menahan lapar, meski beliau adalah seorang pemimpin yang sangat dihormati.

Umar bin Khattab, yang sangat mencintai Rasulullah SAW, langsung berteriak dengan penuh penyesalan, “Ya Rasulullah, alangkah hinanya kami di hadapanmu! Apakah engkau kira, jika engkau menyebutkan lapar, kami tidak akan menyuguhkan makanan untukmu?”

Namun, Nabi SAW dengan lembut dan penuh kebijaksanaan menjawab, “Umar, aku tahu bahwa kalian sangat mencintaiku. Namun, di mana aku akan meletakkan mukaku di hadapan Allah, jika sebagai pemimpin, aku justru membuat beban bagi umatku?”

Rasulullah SAW melanjutkan, “Biarlah aku lapar, supaya umatku tidak serakah, dan mereka tidak mengalami kelaparan.”

Saat itu, seluruh jamaah yang hadir merasa terharu dan terdiam mendengarkan perkataan Rasulullah SAW.

Mereka merasa malu dan terkesan dengan ketulusan hati Nabi yang tidak ingin memberatkan umatnya.

Nabi Muhammad SAW menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang baik seharusnya bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi selalu mengutamakan kepentingan umat dan menunjukkan contoh yang baik, bahkan dalam keadaan yang sangat sulit sekalipun.

Dari kisah ini, kita bisa mengambil banyak pelajaran. Salah satunya adalah tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW memberikan teladan dalam mengutamakan kepentingan umat, meski beliau sendiri dalam keadaan lapar dan kesulitan.

Ketulusan hati Nabi dalam berjuang demi umat sangatlah menginspirasi. Rasulullah SAW menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang sejati seharusnya bertindak, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan umatnya.

Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana pentingnya rasa syukur dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan.

Nabi Muhammad SAW tidak mengeluh meskipun beliau dalam keadaan lapar. Beliau menunjukkan bagaimana seharusnya kita bersikap tawakal kepada Allah dan sabar dalam menghadapi ujian kehidupan.

Nabi SAW juga menegaskan bahwa sebagai seorang pemimpin, kita harus menahan nafsu pribadi demi kepentingan orang banyak.

Lapar dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai masalah fisik, tetapi juga sebagai ujian spiritual.

Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk memerangi nafsu, salah satunya dengan cara menahan lapar dan haus.

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda, “Perangilah nafsumu dengan rasa lapar dan haus, karena sesungguhnya pahala dalam hal itu seperti pahala berperang di jalan Allah.”

Pahala yang besar diberikan bagi mereka yang mampu menahan hawa nafsu, termasuk nafsu makan.

Lapar bisa menjadi ujian untuk meningkatkan ketakwaan seseorang. Dalam perjalanan spiritual, nafsu makan sering kali menjadi penghalang bagi seorang hamba untuk lebih khusyuk dalam beribadah.

Sebagaimana Luqman Al-Hakim mengingatkan anaknya, “Jika perut kenyang, akal akan tertidur, kebijaksanaan akan membeku, dan anggota tubuh menjadi malas untuk beribadah.”

Selain itu, rasa lapar juga mengingatkan kita akan pentingnya rasa syukur. Ketika kita merasakan lapar, kita lebih bisa menghargai nikmat makanan yang Allah berikan.

Lapar mengajarkan kita untuk lebih peduli dengan mereka yang kurang beruntung dan selalu bersyukur atas setiap nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

Rasa lapar juga mengajarkan kita tentang pentingnya berbagi dan menjaga keharmonisan sosial.

Ketika Nabi Muhammad SAW memilih untuk menahan lapar demi menghindari beban bagi umat, beliau memberi contoh bagaimana kita seharusnya hidup dalam masyarakat dengan penuh kepedulian terhadap sesama.

Dalam Islam, berbagi dengan sesama, terutama dengan mereka yang lebih membutuhkan, adalah perbuatan yang sangat dianjurkan.

Dengan menjaga keseimbangan antara menahan nafsu dan berbagi dengan sesama, kita dapat menciptakan kehidupan yang lebih harmonis dan penuh berkah.

Inilah salah satu hikmah besar dari peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW menahan rasa lapar demi kebaikan umatnya