Kisah Bijak Imam Hanafi Menghadapi Ateis

Argumen Berkelas Imam Hanafi Bungkam Ateis dalam Sebuah Debat. (int)

Serambimuslim.com– Numan bin Tsabit, yang lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah, adalah salah seorang ulama besar dalam sejarah Islam.

Beliau lahir pada tahun 699 Masehi di Kufa, Irak, dan dikenal sebagai pendiri mazhab Hanafi, yang merupakan salah satu dari empat mazhab utama dalam fikih Islam.

Mazhab Hanafi banyak dianut oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, terutama di Asia Tengah, Turki, Pakistan, dan sebagian negara-negara Timur Tengah.

Imam Hanafi dikenal tidak hanya sebagai seorang ahli fikih, tetapi juga sebagai seorang intelektual yang memiliki kemampuan luar biasa dalam berdialog dan berdebat.

Keahlian beliau dalam ilmu debat membuatnya sering kali dihadapkan dengan berbagai tantangan pemikiran dari orang-orang dengan pandangan yang berbeda, termasuk orang-orang yang mengingkari eksistensi Tuhan atau ateis.

Salah satu kisah yang menggambarkan kedalaman pemikiran dan kebijaksanaan Imam Hanafi dalam berdebat terjadi ketika beliau bertemu dengan seorang ateis.

Ateis tersebut, seperti kebanyakan orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan, bertanya dengan nada meragukan, “Apakah kamu melihat Tuhanmu?”

Pertanyaan ini sering kali diajukan oleh mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan, dengan harapan dapat membuktikan ketidakmungkinan keberadaan Tuhan yang tak dapat dilihat dengan mata kasar.

Imam Hanafi menjawab dengan tenang, “Maha Suci Allah.”

Kemudian, beliau mengutip salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan sifat-sifat Allah yang tak terjangkau oleh penglihatan manusia.

Ayat tersebut terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 103 yang berbunyi:

“لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ”

Lâ tudrikuhul-abshâru wa huwa yudrikul-abshâr, wa huwal-lathîful-khabîr.

Yang artinya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti.”

Sang ateis kembali bertanya, mencoba menggoyahkan keyakinan Imam Hanafi, “Apakah kamu menyentuh-Nya? Menciumnya? Atau merasakannya?”

Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menantang konsep Tuhan yang tidak tampak atau terasa secara fisik.

Imam Hanafi sekali lagi menjawab dengan penuh hikmah, “Maha Suci Allah.”

Beliau mengutip ayat lain dari Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, yakni dalam Surah As-Syura ayat 11:

“لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ”

Laisa kamitslihî syaî’, wa huwas-samî‘ul-bashîr.

Yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Meskipun sang ateis mencoba membuktikan bahwa Tuhan tidak ada karena tidak dapat dilihat atau dirasakan, Imam Hanafi dengan tenang dan bijaksana menjelaskan kepada si ateis bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dipahami hanya dengan penginderaan fisik.

Allah Maha Sempurna dan keberadaan-Nya tidak terbatas pada hal-hal yang bisa dilihat atau dirasakan oleh manusia.

Namun, Imam Hanafi tidak berhenti sampai di situ. Beliau terus mengajukan pertanyaan yang mendalam kepada ateis tersebut.

“Kamu ini benar-benar tak bisa berpikir! Apakah kamu melihat akalmu?” tanya Imam Hanafi.

Tentu saja, ateis tersebut menjawab, “Tidak.”

Imam Hanafi kemudian bertanya lebih lanjut, “Apakah kamu menyentuh akalmu?”

Si ateis kembali menjawab, “Tidak.”

“Apakah kamu mencium akalmu?” tanya Imam Hanafi lagi, dan sang ateis menjawab, “Tidak.”

“Apakah kamu merasakan akalmu?” tanya Imam Hanafi, dan jawabannya tetap, “Tidak.”

Imam Hanafi lalu bertanya dengan nada yang lebih mendalam, “Kamu berakal atau gila?”

Ateis itu menjawab, “Berakal.”

Dengan penuh kebijaksanaan, Imam Hanafi mengungkapkan, “Jika kamu benar-benar berakal, di mana akalmu?”

Si ateis mengaku tidak tahu, namun ia menyatakan bahwa akal itu ada.

“Demikian pula Allah Tabaraka wa Ta’ala,” kata Imam Hanafi.

“Meskipun kamu tidak bisa melihat-Nya, menyentuh-Nya, atau merasakannya, itu bukan berarti Allah tidak ada. Keberadaan Allah lebih nyata dari akal yang ada dalam dirimu, meskipun kamu tidak bisa melihat, menyentuh, atau merasakannya.”

Kisah ini tidak hanya menunjukkan kecerdasan Imam Hanafi dalam berdebat, tetapi juga menggambarkan kedalaman pemahaman beliau tentang ajaran Islam.

Imam Hanafi mengajarkan kita bahwa keimanan kepada Allah bukanlah berdasarkan penginderaan fisik semata, melainkan keyakinan yang berdasarkan akal dan hati yang percaya pada keberadaan Tuhan yang Maha Esa.

Sebagai seorang ulama dan pemimpin mazhab, Imam Hanafi tidak hanya berfokus pada aspek hukum fikih, tetapi juga pada cara berfikir yang rasional dan mendalam dalam memahami ajaran agama.

Hal ini menjadikan beliau salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam, yang ajarannya masih dipelajari dan diterapkan oleh umat Islam hingga saat ini.