SerambiMuslim.com– Imam Malik bin Anas, selain dikenal sebagai salah satu imam besar dalam mazhab fikih, juga merupakan ulama terkemuka dalam bidang hadits.
Beliau lahir di Madinah pada tahun 711 M dan dikenal luas sebagai seorang yang mendalami ilmu-ilmu agama dengan sangat mendalam.
Imam Malik bukan hanya seorang ahli fikih yang sangat berpengaruh, tetapi juga seorang yang sangat ketat dan selektif dalam menerima riwayat hadits.
Ketelitian dan kehalusan ilmiah beliau dalam memilih dan memverifikasi hadits sangat terkenal, menjadikannya sebagai salah satu rujukan utama dalam dunia hadits.
Imam Malik dikenal dengan sikap ketatnya terhadap periwayatan hadits. Beliau selalu memeriksa dengan seksama setiap hadits yang diterimanya.
Ketelitian ini menyebabkan beliau hanya menerima hadits dari perawi-perawi yang dianggap terpercaya dan memiliki rekam jejak yang jelas dalam keshalehannya, keadilan, dan keilmuannya.
Dalam dunia hadits, sanad atau silsilah periwayatan sangatlah penting, dan Imam Malik dikenal memiliki sanad yang sangat kuat.
Bahkan, sebagian ahli hadits memberikan julukan khusus untuk sanad-sanad beliau, yaitu “al-silsilah adz dzahabiyah” atau “rantai emas”. Julukan ini diberikan karena kekuatan dan keotentikan periwayatannya yang luar biasa.
Imam Malik memiliki prinsip yang sangat jelas dalam menerima atau menolak sebuah hadits. Dalam suatu kesempatan, beliau menyatakan bahwa ilmu tidak bisa diambil dari empat jenis orang, meskipun mereka memiliki banyak riwayat hadits.
Keempat orang tersebut adalah:
- Orang dungu yang menampakkan kedunguannya meskipun dia paling banyak riwayatnya. Imam Malik menjelaskan bahwa meskipun seseorang memiliki banyak riwayat hadits, jika dia dikenal sebagai orang yang bodoh dan tidak dapat menunjukkan pemahaman yang benar tentang ilmu, maka riwayatnya tidak bisa diterima. Hadits yang diterima haruslah datang dari orang yang memiliki pemahaman yang baik dan benar terhadap agama.
- Ahli bidah yang mengajak kepada hawa nafsunya. Orang yang terlibat dalam perbuatan bidah dan mengajak orang lain untuk mengikuti hawa nafsunya juga tidak dapat dijadikan sumber dalam meriwayatkan hadits. Hal ini berkaitan dengan pemahaman bahwa orang yang terlibat dalam bidah dapat mencampurkan ajaran yang salah dalam hadits, yang dapat menyesatkan umat.
- Orang yang biasa berdusta ketika berbicara dengan manusia meskipun dia tidak dituduh berdusta dalam hadits. Walaupun seseorang tidak secara langsung terlibat dalam berdusta dalam meriwayatkan hadits, namun jika ia dikenal sering berbohong dalam kehidupan sehari-harinya, maka riwayat haditsnya juga patut dipertanyakan. Keterpercayaan dalam berbicara sangatlah penting, dan jika seseorang tidak dapat dipercaya dalam hal-hal kecil, maka riwayat hadits yang berasal darinya dapat diragukan.
- Orang shaleh yang banyak beribadah tapi ia tidak hafal hadits yang diriwayatkannya. Imam Malik juga menekankan pentingnya keahlian dalam menghafal hadits. Meskipun seseorang dikenal sebagai orang yang sangat shaleh dan banyak beribadah, jika ia tidak menguasai hadits yang dirinya sampaikan, maka riwayatnya juga tidak dapat diterima. Menghafal dan memahami hadits dengan benar adalah syarat utama dalam meriwayatkan hadits.
Selain itu, Imam Malik juga pernah menyampaikan pendapat yang sangat tegas terkait dengan orang-orang yang meriwayatkan hadits.
Beliau mengatakan, “Aku pernah mendapati syaikh-syaikh yang memiliki keutamaan dan keshalehan dalam menyampaikan (meriwayatkan) suatu hadits, namun aku tidak mendengar sesuatu pun dari mereka.”
Ketika ditanya mengapa beliau tidak menerima riwayat dari mereka, Imam Malik menjawab, “Karena mereka tidak mengetahui apa yang mereka sampaikan (meriwayatkan)!”
Pernyataan ini menggambarkan betapa pentingnya pemahaman yang mendalam dan penguasaan terhadap hadits yang diriwayatkan.
Seseorang yang tidak benar-benar memahami hadits yang disampaikannya, meskipun dikenal sebagai orang yang saleh, tetap tidak memenuhi syarat untuk menjadi perawi yang dapat dipercaya.
Pentingnya pemahaman terhadap hadits ini juga mencerminkan syarat yang diajukan oleh Imam Malik terhadap para perawi hadits. Beliau mengutamakan keadilan, yaitu perawi haruslah orang yang adil dalam kehidupannya.
Selain itu, beliau juga menekankan bahwa sebuah hadits tidak bisa diterima dari orang yang tidak diketahui identitas dan sifat-sifatnya secara jelas, atau yang disebut dengan “majhul” (tidak diketahui).
Seseorang yang tidak adil atau tidak diketahui kualitasnya lebih baik untuk ditolak riwayatnya dibandingkan seseorang yang dapat dipastikan keadilannya namun tidak memahami atau mengetahui hadits yang mereka sampaikan.
Prinsip-prinsip yang diajukan oleh Imam Malik dalam menerima hadits ini tidak hanya menunjukkan ketelitian beliau dalam memilih riwayat, tetapi juga mencerminkan kesungguhan beliau dalam menjaga keotentikan ajaran Islam.
Sebagai seorang ulama yang sangat menjaga kualitas ilmu, Imam Malik memandang bahwa sebuah hadits haruslah datang dari sumber yang terpercaya, yang tidak hanya memiliki integritas dalam kehidupan, tetapi juga memahami dengan baik apa yang diajarkan oleh hadits tersebut.
Dengan prinsip-prinsip ini, Imam Malik tidak hanya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang fikih dan hadits, tetapi juga menjadi teladan bagi generasi ulama selanjutnya dalam menjaga kualitas ilmiah dalam meriwayatkan hadits.