Nasihat Imam Malik tentang Teman dan Waktu

Ilustrasi teman. (int)

SerambiMuslim.com– Imam Malik bin Anas adalah seorang ulama besar yang dikenal sebagai pendiri madzhab Maliki, serta seorang ahli fikih dan perawi hadits yang sangat dihormati dalam sejarah Islam.

Kehidupan Imam Malik penuh dengan dedikasi terhadap ilmu pengetahuan dan pengajaran. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Humairi, dan beliau lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M).

Keluarganya memiliki latar belakang ilmiah yang kuat, dengan ayah dan kakeknya termasuk dalam generasi Tabi’in dan sahabat Nabi Muhammad saw. Ini menjadi fondasi yang kuat bagi perjalanan keilmuan beliau.

Imam Malik tidak hanya dikenal sebagai ulama yang ahli dalam bidang fikih, tetapi juga sebagai perawi hadits yang sangat teliti. Sejak muda, beliau telah menimba ilmu dari banyak guru, mencapai lebih dari 900 orang, termasuk di antaranya adalah Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam az-Zuhri.

Dari mereka, beliau belajar tentang hadits, fikih, dan berbagai ilmu agama lainnya. Keilmuan yang dimiliki Imam Malik menjadi simbol intelektualitas dan kebijaksanaan, dan beliau mengajarkan pentingnya akhlak yang baik sebagai dasar dari ilmu pengetahuan.

Seiring berjalannya waktu, reputasi Imam Malik semakin dikenal luas. Beliau menjadi salah satu tokoh terkemuka di dunia Islam, dan banyak murid yang datang ke Madinah untuk belajar darinya.

Namun, pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, Imam Malik memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Beliau merasa semakin sulit untuk mengelola banyaknya pengunjung yang datang untuk menemui beliau, sehingga akhirnya beliau memutuskan untuk memiliki seorang pengatur jadwal, mirip dengan kebiasaan para khalifah yang memiliki orang-orang yang mengatur pertemuannya. Hal ini dilakukan untuk menjaga fokus beliau dalam menjalankan kehidupan yang lebih tenang dan khusyuk.

Imam Malik merasa kesulitan untuk menolak kedatangan banyak orang, apalagi beliau memiliki banyak teman dan sahabat. Namun, beliau tetap memprioritaskan ilmu dan pengajaran sebagai bagian utama dari hidupnya.

Di penghujung hidupnya, Imam Malik banyak memberikan nasihat kepada murid-muridnya agar mereka bisa mengembangkan ilmu yang telah beliau ajarkan.

Salah satu nasihat beliau yang terkenal adalah tentang pentingnya menjaga hubungan dengan teman. Beliau menyarankan, “Hindarilah oleh kalian Riqqul Ahrar.”

Ketika seorang murid bertanya mengenai maksud nasihat tersebut, Imam Malik menjelaskan bahwa “Riqqul Ahrar” berarti terlalu banyak teman.

Beliau mengingatkan bahwa jika seseorang menjadi seorang qadhi (hakim) atau ulama, maka waktu dan energi mereka akan terkuras habis untuk melayani teman-teman mereka, yang pada akhirnya bisa mengganggu tugas utama mereka sebagai pemimpin atau pengajar.

Imam Malik menyadari bahwa kedekatan dengan banyak orang bisa membawa tantangan tersendiri dalam menjaga objektivitas dan adil dalam keputusan atau fatwa yang diberikan.

Meskipun pada akhir hayatnya Imam Malik lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, beliau tetap menjadi sosok yang sangat dihormati dan dicontoh.

Di bawah pengaruh beliau, madzhab Maliki berkembang pesat dan menjadi salah satu madzhab utama dalam dunia Islam. Kitab al-Muwaththa’, yang ditulis oleh Imam Malik, menjadi karya monumental yang sangat berpengaruh dalam ilmu fikih dan hadits.

Kitab ini dianggap sebagai salah satu kitab hadits tertua yang disusun oleh seorang imam besar, yang mencatat berbagai hadits yang sahih dan bisa dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam.

Al-Muwaththa’ mengandung berbagai hadits yang disaring dengan ketelitian yang tinggi, serta pendapat-pendapat mengenai masalah-masalah fiqih yang berkembang pada masa itu.

Khalifah Harun ar-Rasyid, yang sangat mengagumi karya Imam Malik, bahkan pernah mengusulkan agar al-Muwaththa’ dijadikan pedoman hukum resmi bagi umat Islam.

Namun, meskipun al-Muwaththa’ sangat dihormati, Imam Malik tetap teguh pada pendapatnya bahwa hukum Islam haruslah disesuaikan dengan keadaan masyarakat dan waktu yang ada.

Imam Malik wafat di Madinah pada usia 87 tahun pada tahun 179 H (795 M). Kehidupan dan karya-karya beliau tetap memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam, khususnya dalam bidang fikih dan hadits.

Imam Malik tidak hanya dikenang karena keilmuannya, tetapi juga karena sikap bijaksana dalam menjaga integritas dirinya sebagai seorang ulama. Beliau mengajarkan umat Islam pentingnya kejujuran, keadilan, dan kesederhanaan dalam hidup.

Di akhir hidupnya, Imam Malik lebih banyak menghabiskan waktu untuk menulis, memberikan nasihat, dan mempersiapkan generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan ilmiah beliau.

Nasihat-nasihat beliau tentang kesederhanaan, keteladanan, dan pentingnya memilih teman yang baik tetap menjadi warisan berharga bagi umat Islam hingga hari ini. Meski beliau telah tiada, ilmu dan pengaruhnya tetap hidup melalui murid-murid dan kitab-kitab yang beliau tinggalkan.