SerambiMuslim.com– Dalam Islam, tata cara penguburan jenazah tidak hanya menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam, tetapi juga mencerminkan penghormatan terakhir kepada seseorang yang telah meninggal.
Proses penguburan ini dilaksanakan sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang bertujuan untuk menjaga kesucian dan kehormatan jenazah, serta memenuhi ajaran agama tentang cara merawat jenazah dengan penuh rasa hormat.
Dalam setiap langkahnya, Islam menekankan kesederhanaan, namun tetap memberikan pedoman yang jelas agar penguburan dilakukan dengan cara yang tepat.
Salah satu prinsip utama yang harus diperhatikan dalam penguburan jenazah adalah memastikan kuburan dibuat dengan sederhana, tetapi tetap sesuai dengan standar yang diajarkan dalam agama.
Dalam hal ini, penguburan yang sesuai dengan syariat Islam mengandung makna lebih dari sekadar sekumpulan prosedur; melainkan sebuah bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal, agar mereka mendapatkan tempat yang layak di akhirat.
Sebagaimana tercantum dalam buku Fiqh al-Islam wa Adillatuhu Jilid 2 karya Wahbah Az-Zuhaili, berikut adalah beberapa contoh tata cara penguburan jenazah yang sesuai dengan syariat Islam.
1. Meluaskan Panjang, Lebar, dan Kedalaman Kuburan
Ukuran kuburan harus diperhatikan agar memadai dan layak bagi jenazah. Panjang, lebar, dan kedalamannya dianjurkan cukup luas untuk memberikan kemudahan saat proses pemakaman serta menjaga kesucian tempat peristirahatan terakhir.
Proses penguburan yang luas ini berfungsi untuk melindungi jenazah dari gangguan hewan, bau yang mungkin timbul, serta faktor lingkungan lainnya. Hal ini mencerminkan penghormatan terhadap jenazah.
Mayoritas ulama, kecuali Mazhab Maliki, menganjurkan untuk memperluas panjang, lebar, dan kedalaman kubur.
Anjuran ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang bersabda saat menguburkan korban tewas dari Perang Uhud, “Galilah, luaskanlah, dan buatlah agar dalam!” (HR At-Tirmidzi).
Hadis ini mengandung makna bahwa penguburan harus dilakukan dengan memperhatikan aspek yang memungkinkan jenazah dapat terjaga dengan baik.
Baihaqi juga meriwayatkan sabda Nabi SAW kepada tukang gali kubur, “Perluaslah bagian kepala dan kedua kakinya.”
Ini menunjukkan pentingnya perhatian terhadap setiap bagian kuburan agar jenazah dapat terpelihara dengan baik.
2. Menggunakan Model Galian Liang Lahad
Model galian liang lahad lebih disukai daripada syaqq menurut kesepakatan ulama fikih. Liang lahad dilakukan dengan cara menggali lubang kecil di sisi depan kuburan untuk meletakkan jenazah, dengan ukuran yang sesuai agar jenazah bisa tertutup dengan baik.
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar jenazah tetap terjaga dengan sempurna, dengan keadaan yang rapat dan terlindung.
Terkait dengan hal ini, Sa’ad bin Abi Waqash yang mendekati wafatnya berkata, “Buatkanlah lahad untukku, letakkan batu seperti yang dilakukan terhadap Rasulullah SAW” (HR Muslim).
Selain itu, menurut Mazhab Hambali, syaqq dianggap makruh karena dianggap sebagai kebiasaan non-Muslim, sementara ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i memiliki pandangan lebih rinci terkait perbedaan kondisi tanah.
Liang lahad lebih baik diterapkan jika tanahnya keras, sementara syaqq lebih disarankan jika tanahnya gembur atau basah untuk menghindari longsor.
3. Meninggikan Kuburan Sejengkal
Kuburan dianjurkan untuk ditinggikan sekitar satu jengkal dari permukaan tanah. Hal ini bertujuan agar kuburan mudah dikenali dan tidak terinjak oleh orang yang melintas di sekitarnya.
Praktik ini juga memudahkan bagi mereka yang ingin mendoakan atau memberikan penghormatan kepada jenazah.
Imam Syafi’i meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, “Bahwa Nabi SAW meninggikan kuburannya dari atas tanah seukuran satu jengkal” (HR Ibnu Hibban).
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun penguburan dilakukan dengan sederhana, kuburan haruslah mudah dikenali dan tidak terabaikan, dengan menonjolkan kesederhanaan dan kehormatan yang ada.
4. Tidak Mengecat atau Menghias Kuburan
Islam melarang mengecat atau menghias kuburan dengan cara yang berlebihan. Mengecat kuburan sering kali dianggap sebagai bentuk penghiasan yang tidak sesuai dengan prinsip kesederhanaan yang diajarkan oleh agama.
Larangan ini juga bertujuan untuk menghindarkan umat Muslim dari sikap riya’ atau pamer, serta untuk menjaga kesucian dan keagungan agama.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, “Rasulullah SAW melarang untuk mengecat kuburan, atau menuliskan padanya, atau membuat bangunan di atasnya” (HR Muslim).
Hal ini menegaskan bahwa kuburan tidak boleh dihiasi dengan hal-hal yang tidak perlu, dan umat Islam disarankan untuk menjaga kesederhanaan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam penguburan jenazah.
Setelah mengetahui contoh kuburan sesuai syariat Islam, timbul pertanyaan tentang penggunaan batu nisan yang sering kali kita temui di kuburan masyarakat Muslim Indonesia. Bagaimana hukumnya?
Terdapat dua pandangan mengenai hukum batu nisan. Mazhab Maliki menganggap pemasangan batu nisan makruh dan melarang penulisan nama atau ayat Al-Qur’an di atasnya.
Hal tersebut berdasarkan hadis Rasulullah SAW yang mengatakan, “Rasulullah SAW melarang mengecat, menulis, atau membangun di atas kuburan” (HR Muslim).
Di sisi lain, mazhab Hanafi dan Hambali memperbolehkan pemasangan batu nisan dan penulisan nama untuk menjaga agar kuburan tidak hilang atau terabaikan.
Sebagai contoh, saat Rasulullah SAW memberi tanda pada kuburan Utsman bin Madz’un, beliau bersabda, “Aku memberi tanda pada kuburan saudaraku dan aku akan menguburkan bersamanya orang yang meninggal dari keluargaku.”
Hal ini menunjukkan bahwa tanda atau batu nisan dapat dipasang untuk tujuan praktis, seperti mempermudah penandaan kuburan.
Dengan demikian, setiap aspek penguburan dalam Islam mengandung nilai-nilai yang mendalam, yang tidak hanya mengatur tata cara penguburan tetapi juga mengajarkan kita untuk tetap menjaga kesederhanaan dan rasa hormat terhadap jenazah.
Dalam setiap langkahnya, syariat Islam mengajarkan umatnya untuk tidak melupakan akhirat dan tetap menjaga kehormatan diri, baik bagi yang meninggal dunia maupun yang masih hidup.