Serambimuslim.com– Utang dalam ajaran Islam bukan sekadar transaksi finansial semata, melainkan juga memiliki dimensi spiritual yang sangat mendalam.
Konsep berutang dalam Islam melibatkan tanggung jawab yang tidak hanya terbatas pada aspek materi, tetapi juga pada nilai-nilai moral dan etika yang harus dijaga.
Dalam bukunya Antara Pahala dan Dosa, Hanif Lutfi, Lc., MA., mengingatkan kita bahwa berutang bisa membawa seseorang pada dua sisi yang berbeda: berpotensi mendapatkan pahala besar, tetapi juga bisa menjerumuskan ke dalam dosa jika tidak dilaksanakan dengan baik dan benar.
Oleh karena itu, dalam konteks utang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kita terhindar dari dosa besar dan tetap berada di jalan yang benar.
Berikut adalah beberapa poin penting terkait dosa yang bisa timbul akibat utang yang tidak dikelola dengan baik dalam ajaran Islam.
1. Tidak Membayar Utang kepada Allah
Dalam ajaran Islam, utang kepada Allah memiliki prioritas yang sangat tinggi untuk segera diselesaikan. Utang yang dimaksud dalam hal ini adalah kewajiban ibadah seperti puasa, zakat, dan haji, yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim.
Kewajiban tersebut adalah utang yang tidak boleh ditunda-tunda, dan wajib dilaksanakan secepat mungkin setelah seseorang mampu melaksanakannya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa utang kepada Allah lebih berhak untuk diselesaikan dibandingkan utang kepada manusia.
Dalam konteks ini, kewajiban beribadah kepada Allah bukan hanya masalah ritual, tetapi juga terkait dengan tanggung jawab moral seorang Muslim untuk memenuhi kewajiban yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
2. Tidak Membayar Utang kepada Manusia
Hutang yang tidak dibayar kepada manusia juga dapat menjadi masalah besar. Dalam banyak hadits, Rasulullah SAW menegaskan betapa pentingnya menyelesaikan utang kepada sesama manusia dengan sebaik-baiknya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban, budak Rasulullah SAW, menyebutkan bahwa jiwa seseorang tergantung pada hutangnya hingga utang tersebut dilunasi.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan berlepas diri dari tiga hal, maka ia masuk surga; (yaitu) sombong, ghulul (khianat dalam hal harta rampasan perang), dan hutang.” (HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi).
Hadits ini menggambarkan betapa pentingnya menyelesaikan hutang kepada sesama, karena jika hutang itu belum dilunasi, maka seseorang akan berhadapan dengan risiko besar, baik di dunia maupun di akhirat.
Bahkan dalam kehidupan akhirat, jika utang belum terlunasi, maka pahala amal kebaikan seseorang akan digunakan untuk melunasi utang tersebut.
Orang yang berniat untuk tidak melunasi hutangnya akan dipandang sebagai pencuri oleh Allah pada hari kiamat (HR. Ibnu Majah).
Oleh karena itu, kita harus sangat berhati-hati dalam berutang dan memastikan bahwa segala kewajiban kepada manusia juga dipenuhi dengan baik.
3. Menunda Pembayaran Utang Padahal Mampu
Menunda pembayaran utang, terutama ketika seseorang sudah mampu untuk membayarnya, merupakan tindakan yang sangat tercela dalam Islam.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: “Mathlul Ghani (orang kaya yang menunda-nunda pembayaran utang) adalah kezhaliman.” (Muttafaq alaih)
Menunda pembayaran utang, meskipun seseorang memiliki kemampuan untuk membayar, adalah bentuk kezaliman karena ini bisa menyebabkan kerugian bagi pihak yang memberi pinjaman.
Islam menuntut agar setiap Muslim menunaikan kewajibannya tepat waktu, terutama jika mereka memiliki kemampuan finansial untuk melunasi utang tersebut.
Jika menunda pembayaran utang dilakukan tanpa alasan yang jelas, maka hal tersebut dianggap sebagai kezaliman yang bisa mendatangkan dosa besar.
4. Mensyaratkan Pembayaran Lebih dari Nilai Utang (Riba)
Islam sangat melarang praktik riba dalam segala bentuk transaksi, termasuk dalam hubungan utang-piutang. Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam pengembalian utang, yang menjadikan transaksi tersebut tidak sah dalam Islam.
Setiap tambahan yang diberikan sebagai syarat dalam pembayaran utang dipandang sebagai riba dan haram hukumnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap utang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian, praktik memberi tambahan atas pembayaran utang dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih sangat dilarang dalam Islam.
Namun, jika seseorang memberikan lebih dari utangnya dengan sukarela dan tanpa syarat, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika membayar lebih dari utangnya kepada Jabir bin Abdullah, maka hal tersebut diperbolehkan karena itu merupakan bentuk kebaikan yang tidak mengandung unsur riba.