Cholil Nafis: Jaga Lisan, Utamanya Pejabat Publik

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis. (foto : republika).

Serambimuslim.com–  Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, menekankan betapa pentingnya menjaga lisan dalam komunikasi publik, terutama bagi para penceramah atau pejabat publik.

Cholil mengatakan bahwa hal ini bukan hanya soal berbicara, tetapi juga soal bagaimana setiap perkataan dapat memengaruhi masyarakat secara luas, terlebih jika yang berbicara adalah tokoh yang memiliki pengaruh atau jabatan publik.

“Penting untuk kita semua menjaga lisan, apalagi sebagai pejabat publik, tentunya lebih menjadi perhatian masyarakat,” ujar Cholil Nafis saat dihubungi dari Jakarta pada hari Rabu.

Pernyataan ini menjadi sorotan setelah ucapan yang dilontarkan oleh Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, Miftah Maulana Habiburrahman, baru-baru ini menjadi viral di media sosial.

Ucapan yang disampaikan oleh Miftah dalam sebuah acara tersebut dianggap menyinggung sensitivitas publik, yang kemudian memicu berbagai reaksi dari masyarakat.

Seiring dengan berkembangnya kasus ini, Miftah Maulana kemudian meminta maaf atas ucapannya, dan meskipun permintaan maaf tersebut sudah disampaikan, Cholil Nafis menilai peristiwa ini harus dijadikan sebagai pelajaran berharga, baik bagi Miftah maupun masyarakat pada umumnya.

“Dia sudah minta maaf, baiknya jadi pelajaran bagi dia dan kita semua untuk menjaga lisan,” kata Cholil Nafis.

Ia menegaskan bahwa menjaga lisan tidak hanya penting untuk tokoh-tokoh publik, tetapi juga bagi setiap individu, mengingat dampak negatif dari perkataan yang tidak hati-hati bisa sangat besar, baik itu menimbulkan ketegangan sosial atau memicu konflik yang lebih luas.

Cholil Nafis juga mengingatkan bahwa seorang pejabat publik, apalagi seorang penceramah atau tokoh agama, harus sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata yang akan disampaikan.

Dalam setiap kesempatan berbicara, baik itu dalam situasi formal maupun informal, penting untuk mempertimbangkan konteks dan kondisi masyarakat yang hadir.

Perkataan yang tidak sesuai dengan situasi atau yang dapat menyinggung perasaan orang lain justru dapat memperburuk keadaan dan memicu ketidaknyamanan di masyarakat.

“Materi yang disampaikan harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang hadir, menyelesaikan masalah bukan malah menambah masalah,” ujar Cholil.

Lebih lanjut, Cholil Nafis berharap kejadian yang menimpa Miftah ini dapat menjadi pembelajaran yang lebih luas bagi para pejabat publik dan tokoh masyarakat, untuk lebih bijak dalam berkomunikasi.

Hal ini sangat penting, terutama untuk menghindari perasaan tersinggung di kalangan umat, yang dapat memicu ketegangan sosial.

Dalam konteks ini, komunikasi yang baik dan penuh pertimbangan menjadi kunci utama untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam masyarakat yang majemuk.

MUI juga mengajak seluruh masyarakat untuk selalu menjaga lisan, baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Cholil Nafis mengingatkan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang sangat beragam, dengan latar belakang budaya, agama, dan nilai yang berbeda.

Oleh karena itu, penting untuk selalu berhati-hati dalam bertutur kata dan berinteraksi dengan sesama, agar tercipta kedamaian dan kerukunan.

“Kalau bercanda pun perlu menjaga sensitivitas publik. Karena sopan atau tidaknya kata-kata itu dirasakan oleh umat,” tambahnya.

Dalam dunia yang semakin terhubung melalui teknologi, komunikasi menjadi sangat cepat dan masif.

Ucapan atau tulisan yang disebarkan di media sosial bisa dengan mudah menyebar ke berbagai kalangan, baik yang mendukung maupun yang menentang.

Oleh karena itu, menjaga lisan dan berpikir lebih matang sebelum berbicara sangat penting untuk menghindari konflik dan ketegangan yang tidak perlu.

Setiap kata yang diucapkan, terlebih oleh seorang pejabat publik atau penceramah, bisa memiliki dampak yang luas.

Sehingga, mereka harus lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif.

Cholil Nafis juga menambahkan bahwa setiap ucapan yang disampaikan oleh pejabat publik atau tokoh masyarakat harus memikirkan dampaknya terhadap masyarakat luas. Sebagai figur publik, mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga kerukunan dan kedamaian di tengah masyarakat yang sangat beragam. Ini menjadi tugas yang tidak hanya sebatas pada tindakan, tetapi juga pada komunikasi yang mereka bangun dengan masyarakat. Oleh karena itu, pelajaran dari insiden ini diharapkan bisa membentuk kesadaran kolektif di kalangan pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam berkomunikasi dan menjaga lisan mereka.

Dengan kejadian seperti ini, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga lisan dan memilih kata-kata dengan bijak. Terutama bagi pejabat publik dan penceramah, yang memiliki pengaruh besar terhadap opini publik. Dengan saling menghormati dan menjaga sensitivitas satu sama lain, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis, damai, dan penuh toleransi.