Serambimuslim.com– Akademisi, cendekiawan, dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998), M.
Quraish Shihab, baru-baru ini turut berbagi ilmu dan pengalaman dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama (Kemenag) 2024 yang digelar di Bogor, Jawa Barat.
Dalam kesempatan tersebut, beliau menyampaikan materi dengan tema yang sangat relevan, yaitu “Mempersiapkan Integrasi Keilmuan Islam.”
Materi yang disampaikan M. Quraish Shihab sangat mendalam dan menggugah pemikiran, terutama dalam konteks pentingnya pengintegrasian ilmu-ilmu dalam Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
Dalam penjelasannya, M. Quraish Shihab menekankan bahwa konsep integrasi tidak hanya sekedar memasukkan elemen-elemen eksternal ke dalam suatu sistem, tetapi lebih pada bagaimana menyaring dan memilih elemen-elemen yang positif dari luar untuk dipadukan dengan hal-hal yang sudah ada dalam suatu sistem tersebut.
Dalam hal ini, M. Quraish Shihab merujuk pada integrasi ilmu-ilmu yang bernafaskan Islam dengan ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini.
Hal ini, menurutnya, merupakan tantangan besar bagi umat Islam, mengingat adanya dikotomi yang selama ini terjadi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler.
“Integrasi ini menuntut kita untuk mempelajari apa yang ada di luar kita, apa yang berkembang di luar, dan kemudian memilih mana yang bisa kita ambil dan masukkan dalam konteks kita sebagai umat Islam,” kata M. Quraish Shihab.
Ia mengingatkan bahwa segala sesuatu yang ada di luar kita bisa berpengaruh positif, namun kita harus jeli dalam memilahnya agar tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru.
Untuk memperjelas pentingnya integrasi keilmuan dalam Islam, M. Quraish Shihab merujuk pada pemikiran Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar yang dikenal dengan karya monumental Ihya Ulumuddin.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengungkapkan empat hal yang mendorongnya menulis kitab tersebut, yang bisa dihubungkan dengan tema integrasi keilmuan Islam.
Pertama, Imam Al-Ghazali mencatat adanya minat yang besar di kalangan masyarakat pada masa itu untuk mendekat kepada pemerintah.
Namun, banyak kalangan yang berpendapat bahwa ulama sebaiknya menjauh dari pemerintah karena khawatir terpengaruh oleh politik.
Kedua, Imam Al-Ghazali mengamati bahwa ada ilmu-ilmu yang sudah tidak perlu dibahas lagi karena dianggap sudah lengkap dan cukup.
Ketiga, ada keinginan untuk kembali menghidupkan ilmu-ilmu yang telah dicapai oleh ulama-ulama terdahulu. Keempat, beliau melihat bahwa ilmu harus berorientasi pada kemaslahatan dunia dan akhirat.
“Dari sini kita bisa melihat, apa yang menjadi persoalan kita saat ini? Apa yang perlu diperbaiki, dan apa yang tidak perlu dibahas lagi?” ujar M. Quraish Shihab.
Pertanyaan ini mengajak para peserta Rakernas untuk lebih kritis dan introspektif dalam melihat perkembangan ilmu pengetahuan, serta bagaimana hal tersebut bisa diintegrasikan dengan nilai-nilai agama yang sudah ada dalam tradisi Islam.
M. Quraish Shihab juga mengangkat masalah penting terkait perbedaan epistemologi antara ilmu Islam dan ilmu sekuler.
Epistemologi adalah ilmu yang mempelajari dasar, hakikat, dan batas pengetahuan. Dalam pandangan Islam, epistemologi berlandaskan pada wahyu, yaitu petunjuk yang diberikan oleh Allah SWT melalui Al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian ditafsirkan dengan akal.
Sebaliknya, epistemologi sekuler lebih mengutamakan akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
“Ilmu-ilmu yang bernafaskan Islam itu merujuk pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan penafsirannya. Ada agama, ada ilmu agama, dan ada juga keberagamaan,” jelas M. Quraish Shihab.
Dalam pandangan beliau, ilmu dalam Islam harus memiliki dua dimensi manfaat, yaitu manfaat duniawi dan ukhrawi. S
ementara epistemologi sekuler hanya fokus pada manfaat duniawi semata, tanpa memperhitungkan dimensi akhirat.
M. Quraish Shihab menegaskan, bahwa menurut ajaran Islam, ilmu tidak hanya harus bermanfaat untuk kehidupan dunia, tetapi juga harus memberikan dampak positif bagi kehidupan akhirat.
“Ilmu itu harus bermanfaat, baik untuk dunia maupun akhirat,” ujarnya, menggarisbawahi pentingnya orientasi ilmu yang holistik.
Beliau kemudian mengutip wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu perintah Iqra’ (Bacalah), sebagai dasar epistemologi Islam.
“Perintah untuk membaca ini sangat luas, mencakup segala bentuk ilmu pengetahuan,” kata M. Quraish Shihab.
Ayat tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa Islam tidak membatasi sumber ilmu hanya pada satu bidang saja. Ilmu dalam Islam harus mencakup berbagai disiplin ilmu, termasuk yang bersifat alamiah, sosial, dan kemanusiaan.
“Al-Qur’an sangat teliti dalam menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu. Salah satunya adalah perintah untuk membaca, yang mencakup semua hal, baik itu buku, hadis, alam, maupun apa saja yang bermanfaat,” jelas M. Quraish Shihab.
Dengan demikian, dalam Islam, ilmu tidak dibatasi hanya pada satu kelompok atau bangsa tertentu, tetapi harus dapat dimanfaatkan untuk seluruh umat manusia.
M. Quraish Shihab juga menekankan pentingnya pengakuan terhadap kekurangan dan kelemahan diri. “Pada ranah ini, mutlak adanya integrasi.
Kita harus mengakui bahwa kita memiliki kekurangan dan kelemahan. Kita harus terbuka dan belajar dari yang ada di luar kita,” katanya.
Ini menunjukkan bahwa integrasi ilmu bukan hanya soal memasukkan hal-hal yang baik dari luar, tetapi juga mengakui keterbatasan kita sebagai manusia yang harus terus belajar dan berkembang.