Serambimuslim.com– Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Aceh secara resmi meluncurkan program Inkubasi Pesantren Safinantun Naja, yang bertujuan mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan salafi dan modern di Kabupaten Nagan Raya.
Peluncuran program ini berlangsung pada Senin, 4 November 2024, dan dihadiri oleh sejumlah tokoh penting dari Kemenag Aceh.
Program ini lahir sebagai respons atas tantangan-tantangan yang dihadapi pondok pesantren di tengah perkembangan zaman.
Kabid Pendidikan Pondok Pesantren (Kadpontren) Kanwil Kemenag Aceh, Muntasyir, dalam sambutannya menyampaikan bahwa program ini mengusung visi untuk mewujudkan pondok pesantren yang mampu bersaing dan mandiri di era modern.
Selain itu, program ini menitikberatkan pada penggabungan nilai-nilai pendidikan salafi yang berbasis kitab kuning dengan pendidikan modern yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam penjelasannya, Muntasyir menekankan pentingnya lima unsur yang wajib ada di setiap pondok pesantren, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Unsur-unsur tersebut mencakup keberadaan kyai, santri, mushalla atau masjid, asrama, dan pembelajaran kitab kuning. Kelima unsur ini adalah pilar dasar yang harus dimiliki oleh setiap pesantren untuk tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang otentik.
“Hari ini menjadi momen penting bagi penggabungan antara pendidikan salafi dan pendidikan modern, sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2003. Dengan integrasi ini, kita akan melahirkan pondok pesantren yang modern dan adaptif,” ungkap Muntasyir.
Program Inkubasi Pesantren Safinantun Naja ini sejalan dengan salah satu prioritas Kementerian Agama, yaitu kemandirian pesantren.
Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Mauliadi, yang hadir mewakili Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Nagan Raya, menyampaikan bahwa program kemandirian pesantren sudah berjalan sejak tahun 2020 dan terus menunjukkan hasil yang signifikan.
Menurut Mauliadi, program ini bukan hanya soal dukungan pemerintah dalam bentuk bantuan finansial, tetapi juga peningkatan keterampilan santri dan pengelola pesantren dalam menjalankan usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan di lingkungan pesantren.
Ia menegaskan bahwa dukungan pemerintah hanya akan efektif apabila pesantren mampu mengelola bantuan tersebut secara bijaksana dan produktif.
“Dengan adanya program inkubasi ini, kita optimis bahwa pondok pesantren akan semakin mandiri. Dukungan pemerintah memang penting, namun berapa pun besarnya bantuan, jika tidak dikelola dengan benar, akan menjadi sia-sia,” ujar Mauliadi.
Mauliadi juga menambahkan bahwa program ini memiliki potensi besar dalam melahirkan generasi santri yang tidak hanya paham agama tetapi juga memiliki keterampilan berwirausaha.
Program ini diharapkan mampu membangun jiwa-jiwa entrepreneur di kalangan santri, sehingga mereka dapat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi masyarakat, khususnya di Aceh.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tradisional memiliki peran penting dalam masyarakat, khususnya dalam menanamkan nilai-nilai keislaman dan membentuk karakter bangsa.
Namun, di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang, pesantren juga menghadapi tantangan untuk tetap relevan dan mampu memberikan pendidikan yang tidak hanya berfokus pada ilmu agama, tetapi juga pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Program inkubasi ini diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
Dengan integrasi antara pendidikan salafi dan modern, santri tidak hanya akan dibekali ilmu agama, tetapi juga keterampilan yang relevan dengan tuntutan dunia kerja.
Pembelajaran kitab kuning akan tetap menjadi inti dari kurikulum, namun dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan yang dapat mendukung santri dalam dunia nyata.
Muntasyir menegaskan bahwa pendidikan pesantren di era modern tidak lagi hanya menekankan hafalan kitab, tetapi juga pentingnya keterampilan praktis yang dapat membantu santri untuk mandiri setelah lulus.
Program ini juga berupaya menciptakan pesantren yang dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan ekonomi masyarakat setempat.
“Kami berharap program ini akan menjadi langkah awal menuju kemandirian pesantren yang tidak hanya bertahan sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga mampu berkembang menjadi entitas yang produktif dan berkontribusi bagi masyarakat,” tambah Muntasyir.
Peluncuran Program Inkubasi Pesantren Safinantun Naja ini bukan hanya sekadar seremonial, tetapi merupakan langkah konkret untuk membentuk pesantren yang siap menghadapi tantangan zaman.
Pesantren yang mandiri dan berdaya saing di tingkat nasional dan internasional akan menjadi aset berharga bagi Aceh dan Indonesia.
Program ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang luas, tidak hanya bagi pesantren di Kabupaten Nagan Raya, tetapi juga bagi pesantren di seluruh Aceh dan wilayah lainnya.
Dengan komitmen pemerintah melalui Kementerian Agama dan dukungan berbagai pihak, pesantren di Aceh diharapkan dapat terus berkembang dan menjadi pionir dalam memadukan pendidikan agama dan keterampilan modern.
Hal ini akan mendorong terciptanya generasi santri yang tidak hanya cakap dalam ilmu agama, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan kehidupan di era globalisasi.
Melalui program ini, diharapkan pesantren-pesantren di Aceh dapat tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang mandiri dan mampu berkontribusi bagi kemajuan masyarakat serta pengembangan ekonomi lokal.
Seiring dengan berjalannya program ini, diharapkan akan semakin banyak pesantren yang mengikuti jejak Pesantren Safinantun Naja dalam mengembangkan pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman, tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang telah menjadi identitas pesantren selama ini.