serambi.com– Beuracan merupakan sebuah kemukiman yang terletak di pedalaman Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
Kemukiman ini mencakup sembilan desa dan dikenal karena Masjid Kuno Beuracan yang berusia hampir 400 tahun, menjadi salah satu bukti nyata dari sejarah panjang penyebaran agama Islam di Aceh.
Sejarah dan Asal Usul Masjid Beuracan
Masjid Beuracan dibangun pada masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda, sekitar tahun 1626 Masehi. Pendirinya adalah Teungku Abdussalim, seorang ulama keturunan Arab yang berasal dari Madinah.
Ia dikenal masyarakat dengan panggilan Teuku Di Pucok Krueng karena lokasi masjid yang berdekatan dengan sebuah sungai yang mengalir dari pedalaman Beuracan hingga ke muara desa Meureudu.
Pada awal kedatangannya, masyarakat desa sangat antusias menyambut Teungku Abdussalim beserta rombongannya, terlebih setelah mengetahui bahwa beliau adalah seorang ulama.
Penduduk setempat menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan, termasuk tempat tinggal dan makanan. Di pondoknya, Teungku Abdussalim memulai pengajian agama dan salat berjamaah, namun seiring bertambahnya jumlah pengikut, tempat tinggal tersebut tak lagi memadai.
Merespons kebutuhan ini, Teungku Abdussalim mengutarakan niatnya kepada warga untuk mendirikan masjid yang lebih luas.
Masyarakat Beuracan pun mendukung penuh dan bergotong-royong menyediakan bahan-bahan bangunan, seperti kayu dari hutan, batu dari sungai, serta daun rumbia dari rawa sebagai atap masjid.
Dengan semangat kebersamaan, akhirnya masjid Beuracan berhasil didirikan di atas lahan seluas sekitar enam hektar yang dikelilingi persawahan luas. Masjid ini pun dijadikan pusat pengajaran Islam.
Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi
Selain berdakwah, Teungku Abdussalim juga memperkenalkan cara bertani yang baik kepada masyarakat. Dengan panduan ini, masyarakat desa Beuracan mulai bersemangat menggarap lahan yang sebelumnya tak tergarap dengan baik.
Padi menjadi tanaman utama, sementara kebun di sekitar desa juga dimanfaatkan untuk tanaman lain. Kehidupan masyarakat pun kian membaik dari segi agama maupun ekonomi.
Masjid Kuno dan Relik Bersejarah
Masjid Beuracan memiliki ciri khas unik dengan atap tumpang tiga dan dinding kayu berukir khas Aceh. Dinding bagian bawah masjid dipisahkan oleh tembok setinggi 95 cm yang sekaligus menjadi pondasi kokoh dari masjid ini.
Masjid ini ditopang oleh 16 tiang kayu berbentuk segi delapan, memberikan kekuatan dan ketahanan yang terbukti saat gempa bumi melanda Pidie Jaya pada 7 Desember 2016.
Meski bangunan masjid baru di sebelahnya mengalami kerusakan, masjid kuno tetap berdiri kokoh tanpa cedera.
Di dalam masjid, terdapat beberapa benda peninggalan bersejarah, seperti tongkat rotan sepanjang 163 cm, guci kuno sebagai wadah air, beduk dari kulit sapi, dan mimbar antik.
Guci ini diyakini masyarakat memiliki kelebihan khusus; airnya dianggap dapat menyembuhkan penyakit, sehingga banyak pengunjung dari berbagai daerah, bahkan wisatawan mancanegara, datang untuk mengambil air tersebut. Air dari guci ini dijaga oleh marbot masjid agar tetap suci.
Renovasi dan Pelestarian Masjid
Untuk menjaga kelestarian Masjid Beuracan, pemerintah daerah melakukan renovasi kecil yang tidak mengubah bentuk asli masjid.
Misalnya, atap daun rumbia diganti menjadi seng, dan penerangan tradisional diganti dengan lampu modern. Langkah ini diambil agar masjid tetap dapat berfungsi dengan baik tanpa menghilangkan unsur-unsur sejarahnya.
Masjid Kuno yang Kini Jadi Pusat Wisata Religi
Keunikan dan nilai sejarah Masjid Beuracan menarik wisatawan religi dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri.
Letaknya yang strategis di pinggir Jalan Nasional Banda Aceh – Medan memudahkan para pelancong untuk singgah, terutama pada waktu salat.
Masjid ini diharapkan tetap terjaga kelestariannya agar sejarah dan keunikan warisan budaya Aceh ini terus dapat dinikmati oleh generasi mendatang.