SerambiMuslim.com– Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. KH Nasaruddin Umar, menegaskan betapa pentingnya pemberdayaan perempuan dalam menciptakan ketahanan keluarga dan bangsa.
Dalam pidatonya yang disampaikan pada seminar Tanwir 1 Aisyiyah di Jakarta, Kamis (16/1/2025), Menag menekankan bahwa perempuan memainkan peran kunci dalam membentuk generasi yang berkualitas.
Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Nasaruddin menegaskan bahwa tanpa pemberdayaan perempuan, tidak akan ada ketahanan keluarga, dan tanpa ketahanan keluarga, ketahanan nasional pun akan terganggu.
“Tidak akan ada ketahanan keluarga tanpa pemberdayaan perempuan. Tidak ada ketahanan nasional tanpa kekuatan perempuan. Generasi yang baik hanya bisa lahir dari perempuan yang diberdayakan,” ujar Nasaruddin dalam pidatonya yang menginspirasi banyak kalangan.
Pernyataan ini menunjukkan betapa fundamentalnya peran perempuan dalam menjaga stabilitas dan kemajuan sebuah negara, terutama dalam membentuk generasi penerus yang unggul dan berkualitas.
Lebih lanjut, Menag juga menyoroti masalah ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang menjadi akar dari berbagai persoalan sosial, termasuk kekerasan seksual.
Dalam pandangannya, ketimpangan ini sering kali berasal dari adanya interpretasi agama dan budaya masyarakat yang patriarkis, di mana dominasi laki-laki atas perempuan dianggap sebagai norma yang sah.
Menurut Nasaruddin, dalam ajaran agama Islam, Allah memberikan kekuatan secara seimbang kepada laki-laki dan perempuan.
Namun, budaya patriarki telah mengalihkan sebagian besar kekuatan perempuan kepada laki-laki, sehingga menciptakan ketimpangan yang berujung pada berbagai masalah sosial, termasuk kekerasan dan ketidakadilan.
“Dalam sosiologi, relasi kuasa merujuk pada dominasi kekuatan satu pihak terhadap pihak lain. Relasi kuasa yang timpang ini disebabkan oleh legitimasi penafsiran agama dan budaya yang patriarkis,” kata Menag.
Hal ini, menurutnya, harus digugat dan diprotes melalui reinterpretasi terhadap penafsiran agama yang lebih adil, khususnya dalam fikih perempuan.
Dengan melakukan reinterpretasi ini, tafsir-tafsir yang bias gender dapat dihapus, sehingga memperbaiki relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya akan menciptakan keseimbangan sosial yang lebih sehat.
Relasi kuasa yang timpang juga dapat menyebabkan berbagai masalah dalam keluarga, seperti tingginya angka perceraian.
Menurut Nasaruddin, angka perceraian di Indonesia cukup memprihatinkan, terutama dalam lima tahun pertama pernikahan.
Pada tahun 2023, sekitar 40 persen perceraian terjadi dalam periode tersebut, dan 80 persen kasus cerai gugat berasal dari kota besar.
Menag menyoroti bahwa salah satu dampak dari perceraian adalah munculnya kelompok masyarakat yang lebih rentan, terutama perempuan dan anak-anak.
Kebanyakan perempuan yang bercerai harus menanggung nafkah keluarga seorang diri, yang dapat menyebabkan kemiskinan baru di kalangan mereka dan anak-anak mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, Nasaruddin mengingatkan pentingnya menguatkan ketahanan keluarga dengan membangun relasi yang adil dan setara antara suami dan istri.
Pemerintah melalui Kementerian Agama telah meluncurkan berbagai program untuk mendukung pemberdayaan keluarga, seperti perencanaan perkawinan yang matang, program keluarga sehat, peningkatan ekonomi keluarga, dan pembentukan generasi berkualitas.
Program-program ini dikerjakan dalam kerjasama dengan berbagai kementerian terkait, termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, serta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Dalam pidatonya, Nasaruddin juga menyerukan perlunya penyesuaian regulasi agar kebijakan yang ada tidak merugikan perempuan, tetapi justru mendukung pemberdayaan mereka.
Menurutnya, perubahan regulasi yang lebih berpihak kepada perempuan sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan gender dan kemajuan perempuan di berbagai bidang, baik dalam keluarga, pendidikan, maupun pekerjaan.
Selain itu, Nasaruddin mengajak organisasi perempuan seperti Aisyiyah untuk tidak hanya berfokus pada edukasi, tetapi juga melibatkan diri dalam aksi nyata di masyarakat.
Para perempuan Aisyiyah diharapkan dapat menjadi pelopor perubahan yang mendorong masyarakat untuk lebih menghargai dan memberdayakan perempuan.
Perempuan, menurut Nasaruddin, harus menjadi agen perubahan yang tidak hanya berbicara, tetapi juga berkontribusi langsung dalam memperbaiki keadaan di sekitar mereka.
Akhirnya, Menag berharap bahwa pemberdayaan perempuan akan menjadi kunci dalam membangun keluarga yang kuat, masyarakat yang adil, dan bangsa yang maju.
Dengan menghapus ketimpangan gender, mendorong kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan, dan memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan untuk berkembang, Indonesia dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi seluruh warganya, baik laki-laki maupun perempuan.