Pembantaian Alawi dan Bayang-bayang Sektarianisme Julani

SerambiMuslim.com– Ahmad Husain asy-Syar’a, yang lebih dikenal dengan nama samaran Abu Muhammad al-Julani, tengah menghadapi krisis serius dalam kepemimpinannya sebagai Presiden sementara Suriah. Pria yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh penting dalam kelompok ekstremis seperti ISIS dan Al-Qaeda ini kini memimpin rezim yang mengklaim mengupayakan stabilitas dan rekonsiliasi. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bayang-bayang masa lalunya kembali menyeruak, seiring laporan mengerikan tentang pembantaian sektarian terhadap komunitas minoritas Syiah Alawi.

Jumat pekan lalu, Julani mengakui adanya pembantaian di provinsi Tartus dan Latakia. Namun, ia enggan menyebut secara gamblang siapa pelakunya. Dalam pernyataan resminya, ia berjanji mengusut tuntas peristiwa tersebut dan memastikan siapa pun yang bertanggung jawab akan diadili. “Kami memastikan kami akan mengadili tanpa rasa segan siapa saja bertanggung jawab atas tumpahnya darah penduduk sipil,” ucapnya.

Ia juga mengklaim telah membentuk sebuah komite penyelidikan khusus. Namun, banyak pihak meragukan kemampuan dan niat politik Julani dalam menindak faksi-faksi bersenjata yang diduga berada di bawah komandonya sendiri.

Kekejaman yang Terulang

Investigasi media dan laporan langsung dari jurnalis seperti Jenan Moussa dari Al-Aan TV mengungkap fakta memilukan. Di desa Al-Mukhtariya, Latakia, 147 lelaki Alawi dan satu perempuan dieksekusi secara massal. Sebelum dibunuh, para korban dipaksa merangkak sambil menggonggong seperti anjing. “Hampir semua korban tewas dengan satu peluru di kepala. Korban termuda berusia 16 tahun, dan yang tertua di atas 80 tahun,” ujar Jenan.

Eksekusi ini terjadi hanya sehari setelah dua tentara loyalis Presiden Bashar al-Assad tewas dalam pertempuran. Insiden tersebut memicu gelombang serangan terhadap komunitas Alawi di sejumlah desa, termasuk di As-Sin, dekat Huraisun, dan wilayah utara Baniyas. Warga sipil ketakutan, memilih bersembunyi di rumah dan ladang, karena milisi bersenjata berkeliaran tanpa kontrol.

Rezim yang Kehilangan Kendali

Meski Julani telah mengumumkan pembubaran seluruh milisi dan rencana integrasi ke dalam Kementerian Pertahanan, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. HTS (Hai’at Tahrir al-Sham) dan kelompok bersenjata lainnya tetap bergerak sendiri, mengeksekusi serangan tanpa perintah langsung. Ini menjadi bukti lemahnya kontrol pemerintah sementara terhadap kekuatan-kekuatan militer di bawah payung mereka.

Kegagalan dalam mengendalikan milisi ini menciptakan kondisi yang sangat rentan untuk kembali pecahnya perang saudara di Suriah. Beberapa kelompok garis keras bahkan secara terbuka menyatakan bahwa rezim Julani tidak sesuai syariat Islam, menyulut kembali retorika jihad sektarian yang pernah digunakan ISIS dan Al-Qaeda di masa awal pemberontakan Suriah pada 2011.

Seruan kebencian juga menggema dari masjid-masjid di Idlib dan Hama, tempat yang dulunya menjadi basis ISIS dan Al-Qaeda. Bahkan di Kota Al-Bab, utara Suriah, sebuah LSM diduga membagikan makanan berbuka puasa sambil menyisipkan ujaran kebencian terhadap kaum Alawi: “Hak orang Alawi untuk hidup di kuburnya dengan damai.”

Bukti-Bukti Visual dan Reaksi Dunia Internasional

Beragam video beredar di media sosial memperlihatkan aksi keji para eksekutor. Dari eksekusi massal di pinggir jalan, pembakaran desa-desa Alawi, hingga hinaan dan penyiksaan sebelum pembunuhan. Video-video yang dibagikan bahkan sebagian diambil oleh pasukan keamanan rezim Julani sendiri. The Cradle melaporkan adegan rumah dibakar disertai suara tawa dan caci maki terhadap para korban.

Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) melaporkan, hanya pada 10 Maret saja, sekitar 973 warga sipil Alawi tewas. Angka ini kemungkinan jauh lebih kecil dari realita karena keterbatasan akses ke lokasi-lokasi terdampak.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB menegaskan keprihatinan atas skala kekerasan sektarian ini. Mereka menyebut bahwa para pelaku sering kali menanyai korban apakah mereka Alawi atau Sunni sebelum memutuskan membunuh atau membiarkannya hidup. “Menurut banyak kesaksian, para pria sering kali ditembak di depan anggota keluarganya,” bunyi laporan PBB.

Ancaman Pejuang Asing dan Fragmentasi Negara

Salah satu tantangan terbesar bagi Julani adalah keberadaan ribuan pejuang asing di wilayah kekuasaannya. Mereka datang dari Chechnya, Uighur, Albania, Tunisia, hingga Jerman dan Prancis. Banyak dari mereka diberi kewarganegaraan Suriah dan pangkat militer sebagai imbalan kontribusi mereka terhadap “revolusi”.

Wartawan Husnu Mahalli mencatat bahwa kepala polisi di Latakia, misalnya, berasal dari Uzbekistan. Bahkan Kementerian Wakaf (Urusan Agama) dilaporkan telah mengganti para imam moderat dengan tokoh radikal. “Jika mereka sungguh ingin menyatukan Suriah, mereka tidak akan melakukan ini,” ujar Mahalli.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran besar bagi komunitas Kurdi dan Druze. Jurnalis Sarkis Kassargian yang mewawancarai pemimpin komunitas tersebut menyebut mereka tidak percaya pada Julani. Mereka menolak menyerahkan senjata karena takut mengalami nasib serupa seperti yang dialami warga Alawi. Kurdi, misalnya, pernah mengalami pembantaian di Tal Abyad dan Ras al-Ain; sementara Druze menjadi korban di Idlib.

Suriah di Ambang Kehancuran

Dengan pembantaian sektarian yang masih terjadi dan fragmentasi kekuasaan yang merajalela, masa depan Suriah semakin tidak pasti. Upaya Julani membentuk kesatuan militer nasional justru diperlemah oleh ketidakpercayaan kelompok minoritas dan dominasi pejuang asing radikal.

Julani mungkin telah berganti penampilan demi citra internasional, tetapi bayang-bayang masa lalunya sebagai bagian dari ISIS dan Al-Qaeda tetap menghantuinya. Dan selama keadilan bagi para korban sektarian belum ditegakkan secara nyata, Suriah akan terus terjebak dalam lingkaran kekerasan dan pembalasan dendam tanpa akhir.