Serambimuslim.com– Pada gelaran Indonesia Sharia Economic Festival ke-11 di Jakarta pada Sabtu, 2 November 2024, tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Nigeria, menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang kerja sama pengelolaan wakaf.
MoU ini diharapkan akan membuka peluang baru dalam pengembangan wakaf yang produktif, inovatif, dan berdampak sosial-ekonomi bagi ketiga negara.
Penandatanganan dilakukan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag) Indonesia, Kamaruddin Amin; Chief Executive Officer Yayasan Waqaf Malaysia, Ridzwan Bin Bakar; serta Chairman Azawon Nigeria, Muhammad Lawal Maidoki.
MoU ini bertujuan memperkuat pengelolaan wakaf melalui pertukaran pengalaman, inovasi, dan praktik terbaik yang dimiliki oleh masing-masing negara.
Wakaf, yang merupakan bentuk ibadah dan filantropi dalam Islam, memiliki potensi besar jika dikelola dengan baik.
Kamaruddin Amin, yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), menekankan pentingnya pembelajaran dari pengalaman negara lain,
“Poinnya terkait sharing pengalaman dan rencana kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak, bagaimana praktik wakaf di sana bisa memberi masukan kepada kita, dan sebaliknya,” ungkapnya.
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam MoU ini adalah peningkatan praktik wakaf, baik dari segi efisiensi maupun produktivitas.
Indonesia berharap agar kerja sama ini bisa memberikan wawasan baru dari pengelolaan wakaf yang telah diterapkan di Malaysia dan Nigeria.
Sebagai contoh, Malaysia yang telah lebih dulu memiliki kebijakan wakaf produktif yang sukses, dianggap dapat memberikan inspirasi bagi Indonesia dalam mengoptimalkan aset wakaf untuk kemaslahatan masyarakat.
Nigeria, di sisi lain, memiliki pengalaman dalam pengelolaan wakaf yang terkait dengan infrastruktur pendidikan dan kesehatan.
Pengalaman ini dinilai akan sangat berharga bagi Indonesia, terutama dalam hal pengelolaan wakaf untuk sektor-sektor yang bersifat publik dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Menurut Kamaruddin, Indonesia juga berencana untuk membagikan pengalaman yang dimiliki dalam mengelola wakaf produktif agar dapat menjadi inspirasi bagi Malaysia dan Nigeria.
Lebih lanjut, Kamaruddin menyebut bahwa kerja sama ini membuka peluang untuk berbagai proyek kolaboratif di masa depan.
Salah satu bentuk kerja sama yang sedang dijajaki adalah mempelajari apakah wakaf di Indonesia dapat diproduktifkan dengan bantuan dari Malaysia atau Nigeria.
Misalnya, wakaf dalam bentuk lahan di Indonesia bisa dikembangkan secara komersial atau sosial dengan dukungan dari kedua negara ini.
“Kita sedang menjajaki potensi kerja sama, misalnya apakah ada wakaf di Indonesia yang bisa dibantu oleh Malaysia untuk memproduktifkan bentuknya, ini yang sedang kita pelajari,” jelasnya.
Namun, Kamaruddin menekankan pentingnya tindak lanjut yang konkret dari MoU ini. Menurutnya, MoU bukan sekadar dokumen formalitas, melainkan harus diikuti dengan langkah nyata yang bisa membawa manfaat langsung bagi ketiga negara.
“Harapannya tidak hanya sebatas MoU, tapi ada tindak lanjut konkret yang akan kita follow up bersama-sama,” ujarnya.
Langkah-langkah lanjutan yang terukur dan strategis akan dibahas dan dilaksanakan dalam waktu dekat, agar kerja sama ini tidak hanya berakhir sebagai kesepakatan tertulis.
Indonesia, yang semakin gencar mempromosikan wakaf sebagai salah satu sumber daya ekonomi syariah, menganggap kesepakatan ini sebagai salah satu cara untuk mempertegas posisinya dalam pengelolaan wakaf secara internasional.
Selain itu, kesepakatan ini diharapkan dapat memperluas akses pembiayaan dari aset wakaf bagi masyarakat luas, sehingga memiliki manfaat sosial dan ekonomi yang signifikan.
Dengan memanfaatkan keahlian dan pengalaman dari masing-masing negara, Indonesia berharap dapat mewujudkan inovasi dalam pengelolaan wakaf, termasuk pengembangan aset wakaf menjadi aset produktif yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Peluang yang tercipta dari kolaborasi ini juga meliputi potensi investasi wakaf di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Dalam jangka panjang, kerja sama ini diharapkan dapat menjadi model inspiratif dalam pengembangan wakaf produktif, yang tidak hanya bernilai sosial-ekonomi tetapi juga bernilai religius.
Wakaf produktif dapat dimanfaatkan untuk membiayai program-program sosial dan ekonomi, seperti penyediaan rumah sakit, sekolah, maupun lembaga pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Secara keseluruhan, penandatanganan MoU ini mencerminkan komitmen kuat ketiga negara dalam mengembangkan potensi wakaf sebagai pilar penting dalam ekonomi syariah yang berkelanjutan.
Dengan kolaborasi ini, diharapkan wakaf tidak hanya menjadi instrumen keagamaan, tetapi juga sebagai solusi inovatif bagi berbagai tantangan sosial dan ekonomi.
Keberhasilan kerja sama ini dapat menjadi contoh bagi negara-negara Muslim lainnya dalam memanfaatkan wakaf sebagai kekuatan ekonomi yang berdampak positif bagi masyarakat luas.
Kesepakatan ini diharapkan dapat mengubah wajah pengelolaan wakaf di Indonesia, Malaysia, dan Nigeria.
Dengan tindak lanjut yang nyata, kerja sama ini memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di ketiga negara, sekaligus mempromosikan ekonomi syariah yang inklusif dan berkelanjutan.