SerambiMuslim.com– Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (International Union of Muslim Scholars/IUMS) baru-baru ini mengeluarkan fatwa yang menyerukan jihad melawan Israel. Namun, seruan tersebut mendapat tentangan keras dari salah satu otoritas keagamaan tertua dan paling berpengaruh di dunia Islam, yakni Dar al-Ifta Mesir.
IUMS, organisasi ulama independen yang bermarkas di Doha, Qatar, didirikan pada tahun 2004 dan kini beranggotakan ribuan cendekiawan Muslim dari berbagai negara. Dalam pernyataan resmi yang diterbitkan pada 5 April 2025, Komite Fatwa dan Yurisprudensi IUMS menyebut bahwa serangan militer Israel di Gaza merupakan bentuk “pembersihan sistematis”. Mereka menyerukan kepada umat Islam di seluruh dunia untuk melakukan jihad sebagai bentuk solidaritas dan pembelaan terhadap rakyat Palestina.
Sebelumnya, pada 28 Maret, IUMS telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa “jihad melawan pendudukan [Israel] adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain) bagi setiap Muslim yang mampu”. Dalam fatwa tersebut, IUMS juga mendorong pemerintah negara-negara Muslim untuk mengambil langkah konkret, baik secara militer, ekonomi, maupun politik, guna menekan Israel dan mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Lebih lanjut, IUMS secara eksplisit meminta negara-negara tetangga Palestina seperti Mesir, Yordania, dan Lebanon untuk ikut serta dalam perang tersebut. Mereka juga mendesak negara-negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel agar meninjau ulang perjanjian damai tersebut, dan menganjurkan pembentukan aliansi Islam yang lebih kuat guna melakukan tekanan menyeluruh terhadap Israel.
Namun, fatwa ini menuai kritik tajam dari Dar al-Ifta Mesir, lembaga fatwa resmi yang berdiri sejak 1895 dan menjadi rujukan utama dalam isu-isu keislaman di kawasan Arab. Dalam pernyataan tertulis yang dirilis pada 7 April, lembaga ini menyebut seruan jihad dari IUMS sebagai “ajakan untuk kekacauan” dan menegaskan bahwa IUMS tidak memiliki otoritas keagamaan untuk mengeluarkan fatwa atas nama seluruh umat Islam.
“Mendukung Palestina untuk mendapatkan hak-hak mereka yang sah adalah tugas agama, etika, dan manusiawi, asalkan ini dilakukan untuk melayani kepentingan rakyat Palestina, bukan untuk melayani agenda tertentu atau dalam petualangan yang hasilnya tidak diperhitungkan,” demikian bunyi pernyataan resmi Dar al-Ifta Mesir.
Dalam pernyataannya, Dar al-Ifta juga menekankan pentingnya pendekatan diplomatik, kemanusiaan, dan advokasi hak asasi manusia dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel, dan menolak keras bentuk-bentuk aksi militer yang tidak diatur dalam kerangka hukum internasional.
Sejak dimulainya kembali agresi militer Israel terhadap Jalur Gaza pada akhir tahun 2023, lebih dari 35.000 warga Palestina dilaporkan tewas, termasuk ribuan anak-anak dan perempuan, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza. PBB dan berbagai organisasi hak asasi manusia telah berulang kali menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya jumlah korban sipil dan runtuhnya infrastruktur kemanusiaan di wilayah tersebut.
Seruan jihad oleh IUMS muncul di tengah meningkatnya tekanan internasional terhadap Israel, termasuk penyelidikan dugaan kejahatan perang oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Di sisi lain, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat tetap menjadi sekutu utama Israel dan menolak mendukung embargo atau sanksi internasional terhadap Tel Aviv.
Perdebatan antara IUMS dan Dar al-Ifta Mesir mencerminkan perbedaan ideologis yang cukup tajam dalam dunia Islam, khususnya antara kelompok ulama yang progresif dan aktivis versus institusi keagamaan tradisional yang berafiliasi dengan negara.
IUMS selama ini dikenal memiliki kedekatan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan sejumlah kelompok Islamis lain, sementara Dar al-Ifta merepresentasikan arus keislaman yang lebih moderat dan cenderung mendukung stabilitas politik melalui jalur kenegaraan.
Fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan oleh IUMS telah membuka perdebatan besar di kalangan umat Muslim global mengenai legitimasi, urgensi, dan cara terbaik untuk membantu rakyat Palestina. Di tengah penderitaan yang terus berlanjut di Gaza, perbedaan pendapat di kalangan ulama menunjukkan bahwa persoalan keagamaan dan politik dalam konflik Israel-Palestina jauh lebih kompleks daripada sekadar hitam dan putih.