Trump Batasi Masuk Warga Negara Muslim, Indonesia Termasuk?

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial yang menyasar warga negara dari sejumlah negara mayoritas Muslim. (int)

SerambiMuslim.com– Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial yang menyasar warga negara dari sejumlah negara mayoritas Muslim. Kebijakan ini menyangkut pembatasan masuknya warga asing ke wilayah Amerika Serikat dengan dalih keamanan nasional dan pencegahan terorisme.

Langkah tersebut mengacu pada Executive Order atau Perintah Eksekutif yang ditandatangani pada 20 Januari 2025 berjudul “Melindungi Amerika Serikat dari Teroris Asing dan Ancaman Keamanan Nasional Lainnya” (Protecting the United States from Foreign Terrorist Entry and Other National Security Threats). Perintah ini merevisi dan memperluas kebijakan larangan perjalanan yang sebelumnya sempat diberlakukan Trump pada tahun 2017 saat menjabat presiden untuk pertama kalinya.

Berdasarkan laporan dari media Timur Tengah, Al-Araby Al-Jadeed, sejumlah Kedutaan Besar Amerika Serikat di berbagai negara telah memberi tahu kepada para pemegang visa bahwa izin mereka untuk masuk ke AS telah dibatalkan, termasuk kepada individu yang saat ini sudah berada di Amerika Serikat.

Kebijakan tersebut juga mencakup instruksi kepada warga negara asing yang terdampak agar mengunjungi kedutaan AS terdekat guna menjalani wawancara dan evaluasi ulang.

“Orang-orang yang terdampak kebijakan ini diminta untuk datang ke kedutaan AS di negara masing-masing guna menjalani wawancara lebih lanjut,” ungkap laporan dari Al-Araby Al-Jadeed, yang menegaskan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari rencana penerapan larangan perjalanan yang baru.

Kebijakan ini secara spesifik menyasar negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim. Dalam perintah terbarunya, negara-negara tersebut diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan tingkat risiko yang dipandang oleh otoritas AS.

1. Daftar Merah (Red List)
Negara-negara dalam daftar ini akan dikenai larangan penuh terhadap seluruh jenis visa. Termasuk dalam daftar ini adalah:

  • Libya
  • Iran
  • Sudan
  • Suriah
  • Yaman
  • Somalia
  • Korea Utara (non-Muslim)
  • Kuba (non-Muslim)
  • Venezuela (non-Muslim, terbatas pada pejabat pemerintah)
  • Afghanistan
  • Pakistan (dalam tahap evaluasi untuk dimasukkan)

2. Daftar Oranye (Orange List)
Negara-negara dalam kategori ini masih dapat mengakses visa, namun dengan pembatasan ketat. Warga negara kaya dari daftar oranye mungkin masih bisa mendapatkan visa bisnis, namun visa wisata dan visa imigran akan sangat dibatasi.

3. Daftar Kuning (Yellow List)
Negara-negara ini diberi waktu 60 hari untuk meningkatkan sistem keamanan nasional mereka dan memperluas kerja sama intelijen dengan pemerintah Amerika Serikat. Jika gagal, mereka bisa menghadapi pembatasan sebagian atau penuh di masa mendatang.

Hingga saat ini, Indonesia tidak termasuk dalam daftar merah, oranye, maupun kuning. Kedutaan Besar AS di Jakarta juga belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kemungkinan dimasukkannya Indonesia dalam salah satu kategori tersebut.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak pernah dimasukkan dalam daftar larangan perjalanan selama masa jabatan pertama Trump, meskipun isu ini sempat menjadi kekhawatiran publik pada saat itu.

Namun, sumber dari Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (Department of Homeland Security) menyatakan bahwa “daftar negara masih bersifat dinamis dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada evaluasi keamanan nasional dan kerja sama diplomatik yang sedang berlangsung.”

Kebijakan baru ini langsung menuai kritik dari komunitas internasional dan pegiat hak asasi manusia. Banyak yang menilai kebijakan ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap warga negara Muslim yang disamarkan dengan dalih keamanan.

“Ini adalah bentuk diskriminasi sistemik terhadap warga negara dari negara-negara Muslim, yang berpotensi memperburuk stereotip dan memperdalam jurang perbedaan antarbangsa,” ujar Linda Sarsour, aktivis Muslim-Amerika.

Sejumlah politisi Partai Demokrat juga mengecam kebijakan ini sebagai langkah yang bertentangan dengan nilai-nilai keterbukaan dan pluralisme Amerika Serikat. Senator Alexandria Ocasio-Cortez menegaskan bahwa kebijakan semacam ini adalah “pintu belakang bagi supremasi kulit putih dan Islamofobia yang dilembagakan.”

Sebaliknya, kubu pendukung Trump menyambut baik langkah ini. Mereka menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap keamanan dalam negeri, terutama setelah meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

Meski Indonesia belum masuk dalam daftar negara yang dibatasi masuk ke Amerika Serikat, situasi ini menjadi pengingat akan pentingnya diplomasi dan kerja sama internasional dalam bidang keamanan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri disarankan untuk terus memantau situasi dan melakukan pendekatan diplomatik bila diperlukan.

Masyarakat Indonesia yang hendak bepergian ke AS diimbau agar memeriksa informasi terbaru melalui situs resmi Kedutaan Besar Amerika Serikat serta memastikan dokumen perjalanan mereka lengkap dan sesuai dengan regulasi keamanan terbaru.