Perempuan Bekerja: Pandangan Islam yang Perlu Diketahui

ilustrasi perempuan karir (int)

Serambimslim.com– Perkara wanita karir atau wanita bekerja hingga kini masih menjadi pembicaraan yang terus berkembang di berbagai kalangan, baik dalam masyarakat umum maupun di lingkungan agama.

Salah satu isu yang sering diperdebatkan adalah pandangan Islam terkait dengan peran perempuan di luar rumah.

Dalam pandangan sebagian orang, ajaran agama Islam sering dianggap lebih konservatif dalam hal ini, dengan menekankan agar seorang wanita sebaiknya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk mengurus keluarga.

Salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang sering dikutip untuk mendukung pandangan ini adalah Q.S Al-Ahzab ayat 33 yang menyatakan bahwa wanita sebaiknya tetap di rumah dan tidak tampil dengan berlebihan di hadapan umum.

Ayat tersebut berbunyi: “Dan tetaplah kamu di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu.” (QS Al-Ahzab: 33)

Ayat ini sering diinterpretasikan sebagai penekanan agar wanita muslimah lebih fokus mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anaknya.

Bahkan dalam Kitab al-Mawsu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, disebutkan bahwa tugas utama seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.

Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari juga mengingatkan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola urusan rumah tangga suaminya.

Hadis tersebut berbunyi: “Perempuan itu mengatur dan bertanggung jawab atas urusan rumah suaminya.” (HR. Bukhari)

Dari hadis ini, sebagian besar ulama menyatakan bahwa peran utama perempuan dalam Islam adalah sebagai ibu rumah tangga dan pendidik anak-anaknya, serta tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara finansial karena tugas tersebut sudah menjadi kewajiban suami atau ayahnya.

Namun demikian, pemahaman ini tidak serta merta berarti bahwa Islam melarang perempuan untuk bekerja.

Cendekiawan dan ulama asal Mesir, Sayid Qutb, berpendapat bahwa Islam tidak melarang seorang muslimah untuk bekerja, asalkan pekerjaan yang dijalani tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kemuliaan seorang wanita.

Ia menyebutkan bahwa perempuan bisa bekerja sesuai dengan kemampuan dan kodrat kewanitaannya, baik dalam bidang profesi seperti dokter, guru, peneliti, ataupun berkontribusi sebagai tokoh masyarakat.

Jadi, Islam memberikan keleluasaan bagi wanita untuk beraktivitas di luar rumah, selama tidak melanggar syariat.

Dr. Abd al-Qadir Manshur, seorang Guru Besar Ilmu Al-Qur’an di Universitas Sayf al-Dawlah, juga menjelaskan

bahwa Islam tidak melarang wanita untuk berprofesi atau berbisnis, selama kegiatan tersebut mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.

Dalam bukunya yang berjudul Pintar Fikih Wanita, beliau menyebutkan bahwa seorang muslimah boleh melakukan jual beli atau usaha dengan harta pribadi mereka, asalkan pekerjaan tersebut tidak melibatkan perbuatan maksiat atau bertentangan dengan kehormatan diri dan keluarga.

Dalam hal ini, Islam memberikan kebebasan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, tetapi tetap memperhatikan aturan-aturan yang ada.

Namun, meskipun Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja, ada beberapa kriteria pekerjaan yang perlu diperhatikan agar tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Salah satunya adalah bahwa pekerjaan tersebut tidak boleh melibatkan perilaku yang dapat merusak moral atau kehormatan keluarga.

Seperti yang disebutkan dalam al-Mawsu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, pekerjaan yang dilakukan oleh seorang perempuan haruslah tidak melibatkan hal-hal yang bisa mencoreng martabatnya, baik itu terkait dengan interaksi yang tidak sepatutnya dengan lawan jenis yang bukan mahram, atau pekerjaan yang bisa mendatangkan fitnah.

Sebagai contoh, Imam Abu Hanifah dalam kitab Bada’i al-Shana’i mengharamkan pekerjaan asisten pribadi untuk perempuan yang mengharuskan berduaan dengan laki-laki bukan mahram.

Hal ini bertujuan untuk menghindari potensi fitnah yang bisa muncul akibat kedekatan yang tidak wajar antara perempuan dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.

Sebab, dalam Islam, berduaan antara pria dan wanita yang bukan mahram sangat dilarang, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh al-Thabrani, “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali setan menjadi pihak ketiganya.” (HR. al-Thabrani)

Selain itu, pekerjaan yang dijalani oleh perempuan juga harus memperhatikan aspek aurat. Islam dengan tegas melarang perempuan untuk berdandan berlebihan atau membuka aurat di depan umum.

Dalam surah Al-Ahzab ayat 33, Allah berfirman: “Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu.”

Hal ini mengingatkan bahwa wanita muslimah hendaknya menjaga kesopanan dan menjaga auratnya ketika beraktivitas di luar rumah.

Kriteria berikutnya yang perlu diperhatikan adalah kondisi fisik perempuan itu sendiri. Mengingat bahwa tubuh perempuan tidak sekuat laki-laki, maka pekerjaan yang dilakukan harus disesuaikan dengan kemampuan fisik dan psikologisnya.

Pekerjaan berat atau berisiko tinggi sebaiknya dihindari oleh perempuan, karena tugas-tugas alamiah perempuan seperti melahirkan, menyusui, dan merawat keluarga memerlukan energi dan perhatian yang besar.

Oleh karena itu, penting untuk ada keseimbangan antara aktivitas di luar rumah dengan tugas-tugas domestik yang harus dijalankan di dalam rumah.

Dr. Abd al-Qadir Manshur menyebutkan bahwa anjuran ini bukan untuk membatasi peran perempuan, tetapi lebih sebagai bentuk perlindungan terhadap tugas-tugas alamiah mereka sebagai ibu dan pengasuh keluarga.

Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam ajarannya, senantiasa menekankan pentingnya sinergi antara aktivitas luar dan dalam rumah, di mana keduanya harus berjalan seiring dengan saling mendukung.

Kesimpulannya, Islam tidak melarang wanita untuk bekerja, namun ada batasan-batasan yang perlu diperhatikan, baik dari segi pekerjaan itu sendiri maupun dampaknya terhadap kehormatan dan kesucian keluarga.

Oleh karena itu, perempuan yang ingin bekerja perlu memastikan bahwa pekerjaannya tidak bertentangan dengan ajaran agama, menjaga aurat, tidak berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, dan tetap mampu menjalankan peran pentingnya dalam keluarga.

Dengan demikian, seorang wanita bisa berkontribusi di masyarakat tanpa harus mengorbankan peran utama mereka sebagai istri dan ibu yang baik.