Opini  

Sejarah Awal Mula Shalat Tarawih Ramadhan

Ilustrasi Shalat Tarwih, (int)

SerambiMuslim.com–Shalat tarawih merupakan salah satu amalan khas yang hanya dijumpai pada malam-malam di bulan Ramadhan. Ibadah ini termasuk bentuk dari qiyam Ramadhan, yaitu menghidupkan malam bulan suci dengan ibadah, utamanya dengan shalat. Praktik ini memiliki dasar yang kuat dalam hadits-hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, baik dari segi keutamaan maupun pelaksanaannya.

Nabi bersabda مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa beribadah (tarawih) di bulan Ramadhan dengan iman dan penuh harap (ikhlas), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Shalat tarawih termasuk dalam kategori sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Shalat ini dilakukan setelah shalat Isya dan sebelum witir. Anjuran tersebut ditegaskan dalam hadits lain, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ… مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا…

“Rasulullah menganjurkan untuk qiyam Ramadhan (shalat tarawih) tanpa perintah keras. Beliau berkata: ‘Barangsiapa melakukannya karena iman dan mengharap pahala dari Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.’” (HR. Muslim)

Para ulama sepakat bahwa istilah qâma Ramadlâna dalam hadits tersebut mengacu pada shalat tarawih. Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat tentang jenis dosa yang diampuni. Imam al-Haramain menyatakan bahwa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan menurut Imam Ibn al-Mundzir, hadits tersebut mencakup seluruh dosa, baik besar maupun kecil, karena menggunakan lafaz ‘âm (umum).

Shalat tarawih pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم pada malam-malam bulan Ramadhan, tepatnya tahun ke-2 Hijriah. Nabi sempat melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah di masjid, namun tidak berlanjut setiap malam. Hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan.

“Suatu malam Rasulullah shalat di masjid, dan beberapa orang ikut shalat bersamanya. Malam berikutnya, jumlah jamaah bertambah. Malam ketiga atau keempat, masjid sudah dipenuhi jamaah namun Rasulullah tidak keluar. Pagi harinya beliau bersabda: ‘Aku tahu apa yang kalian lakukan, tetapi aku tidak keluar karena aku khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tindakan Nabi menunjukkan kebijaksanaan luar biasa. Beliau ingin mencegah beban syariat baru atas umatnya yang mungkin belum mampu melaksanakannya secara konsisten. Hal ini juga menghindarkan umat dari anggapan keliru bahwa shalat tarawih adalah wajib, padahal hukumnya sunnah.

Selama masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq, shalat tarawih masih dilakukan secara sendiri-sendiri (munfarid) atau dalam kelompok kecil. Praktik berjamaah secara besar-besaran di masjid dengan satu imam belum diterapkan. Meski demikian, antusiasme umat untuk shalat malam di bulan Ramadhan tetap tinggi, mencerminkan semangat spiritual yang kuat.

Perubahan besar terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab رضي الله عنه. Melihat umat Islam melaksanakan shalat tarawih secara terpisah-pisah dan tidak terorganisir, Umar memutuskan untuk menyatukan mereka dalam satu jamaah di masjid dengan satu imam. Pilihannya jatuh kepada sahabat Ubay bin Ka’ab sebagai imam.

Abdurrahman bin Abdil Qari meriwayatkan:

“Suatu malam saya pergi bersama Umar ke masjid dan melihat orang-orang shalat dalam kelompok yang terpisah. Umar berkata: ‘Akan lebih baik jika mereka semua dikumpulkan di bawah satu imam.’ Maka beliau mengumpulkan mereka di belakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, Umar melihat umat shalat bersama dan berkata: ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini.’” (HR. Bukhari)

Kata “bid’ah” dalam konteks ini bukan berarti sesuatu yang buruk. Justru dalam istilah syariah, “bid’ah hasanah” adalah inovasi baik yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Perintah Umar ini kemudian menjadi praktik tetap hingga sekarang.

Terkait jumlah rakaat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Nabi tidak secara eksplisit menetapkan jumlah rakaat dalam shalat tarawih. Pada masa Umar, umat Islam melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat tanpa witir. Inilah yang kemudian menjadi kesepakatan mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan sebagian besar ulama Maliki.

Imam Malik bahkan meriwayatkan bahwa di Madinah, shalat tarawih dilakukan hingga 36 rakaat, dengan tiga rakaat witir. Meskipun beliau pribadi memilih delapan rakaat, praktik mayoritas umat tetap condong pada 20 rakaat sebagai bentuk konsensus yang paling kuat.

  1. Shalat tarawih adalah ibadah sunnah muakkadah yang dikhususkan pada malam bulan Ramadhan, dengan keutamaan besar berupa ampunan dosa.
  2. Rasulullah shalat tarawih berjamaah hanya beberapa malam, lalu menghentikannya karena khawatir akan diwajibkan.
  3. Shalat tarawih berjamaah secara resmi dimulai pada masa Umar bin Khattab, yang kemudian disepakati oleh para sahabat.
  4. Jumlah rakaat tidak ditentukan secara pasti oleh Nabi, namun mayoritas ulama berpegang pada 20 rakaat sebagai bentuk praktik yang mapan sejak masa sahabat.

Sejarah panjang shalat tarawih menunjukkan bagaimana dinamika ijtihad dalam Islam terus berkembang, namun tetap berpijak pada semangat dan teladan Rasulullah. Di bulan Ramadhan, shalat tarawih menjadi momen spiritual yang dinantikan, mempererat kebersamaan umat dan menghidupkan malam-malam dengan zikir serta tilawah Al-Qur’an.