Serambimuslim.com– Al-Quran Braille adalah salinan kitab suci Alquran yang ditulis menggunakan simbol Braille, sebuah sistem tulisan yang dirancang untuk membantu penyandang disabilitas netra atau orang-orang yang mengalami gangguan penglihatan (tunanetra) agar dapat membaca dan memahami Al-Quran.
Sejarah lahirnya Al-Quran Braille di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an dan terus berkembang hingga kini.
Proses panjang ini merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa seluruh umat Muslim, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan, dapat mengakses dan mempelajari Alquran dengan lebih mudah.
Pada awalnya, Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI memulai rencana pembuatan Alquran Braille sejak tahun 1974.
Saat itu, dalam Musyawarah Kerja Ulama Alquran Nasional Ke-1, salah satu topik yang dibahas adalah pembuatan Al-Quran Braille untuk memfasilitasi umat Muslim tunanetra.
Sejak saat itu, LPMQ mulai berkomitmen untuk membuat standar Alquran Braille di Indonesia yang dapat digunakan oleh para disabilitas netra.
Kepala LPMQ, Abdul Aziz Sidqi, menyampaikan bahwa antara tahun 1974 hingga 1983, LPMQ mulai menyusun mushaf Al-Quran standar Indonesia yang mencakup dua versi: satu untuk orang awas (yang bisa melihat) dan satu lagi khusus untuk disabilitas netra, yaitu Al-Quran Braille.
Pada periode tersebut, LPMQ juga berfokus pada penstandarannya, termasuk menstandarkan huruf-huruf Al-Quran dalam Braille dan tanda baca yang ada, seperti harakat, fathah, kasrah, dhammah, dan sukun.
Semua ini dilakukan agar teman-teman tunanetra bisa membaca Alquran dengan nyaman dan akurat.
Mushaf Al-Quran Braille yang pertama kali disusun ini mendapatkan pengesahan melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 25 Tahun 1984.
Dalam KMA ini, disebutkan bahwa mushaf Al-Quran memiliki tiga jenis berdasarkan segmennya, yaitu mushaf standar Usmani untuk orang awas, mushaf Bahriah untuk penghafal Al-Quran, dan mushaf Braille untuk disabilitas netra.
KMA ini diperkuat dengan Instruksi Menteri Agama (IMA) Nomor 7 Tahun 1984 yang menetapkan penggunaan mushaf Alquran standar sebagai pedoman dalam mentashih Alquran di Indonesia.
Selanjutnya, master mushaf ini dicetak dan disebarkan ke masyarakat, lembaga, dan yayasan yang bergerak di bidang pembelajaran Al-Quran.
Pada tahun 2010, LPMQ kembali mengembangkan Al-Quran Braille melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk ahli Braille dan organisasi yang berfokus pada tunanetra.
LPMQ mulai menyusun pedoman membaca Alquran Braille dan menyelesaikannya pada tahun 2011.
Sebagai bagian dari program tersebut, LPMQ juga berhasil menyelesaikan penyusunan Alquran Braille 30 juz beserta terjemahannya pada tahun 2013.
Program ini merupakan upaya besar LPMQ dalam memudahkan akses umat Muslim tunanetra terhadap kitab suci mereka.
Namun, pada tahun 2021, LPMQ menyadari adanya kebutuhan untuk penyempurnaan dalam tanda baca Al-Quran Braille.
Mereka kemudian memperbarui buku pedoman membaca Alquran Braille untuk tunanetra dengan tujuan agar tanda baca pada Alquran dapat lebih mudah dibaca dan dipahami.
Dua tahun setelahnya, LPMQ meluncurkan panduan baru yang disebut “Iqro’na,” sebuah buku panduan praktis yang dirancang khusus untuk penyandang disabilitas netra dalam belajar membaca Al-Quran.
Panduan ini mirip dengan buku Iqro yang biasa digunakan oleh mereka yang bisa melihat, namun disesuaikan dengan sistem Braille.
LPMQ tidak hanya berhenti di situ, mereka juga sedang dalam proses menyusun buku panduan Tajwid Al-Quran Braille untuk memastikan bahwa para tunanetra bisa membaca Al-Quran dengan benar, sesuai dengan aturan tajwid yang ada.
Penyempurnaan ini merupakan langkah penting agar pembacaan Al-Quran oleh penyandang disabilitas netra sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku, sehingga mereka bisa memahami dan menghafal Al-Quran dengan cara yang benar.
LPMQ juga berkomitmen untuk memperluas akses terhadap Alquran Braille melalui berbagai inisiatif.
Salah satunya adalah dengan bekerja sama dengan komunitas-komunitas Braille, lembaga, dan yayasan yang berfokus pada tunanetra, seperti ITMI (Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia), serta lembaga-lembaga Braille di bawah Kementerian Sosial.
Kerja sama ini bertujuan untuk memudahkan penyebaran dan pemanfaatan Alquran Braille kepada masyarakat luas, terutama kepada mereka yang membutuhkan.
Untuk mempermudah akses ke literasi keagamaan, LPMQ juga meluncurkan aplikasi digital e-publication yang memungkinkan para tunanetra mengakses ribuan buku, termasuk hasil kajian tentang Al-Quran.
Aplikasi ini berisi sekitar 127 judul buku, yang bisa diakses secara gratis oleh penyandang disabilitas netra.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman mereka tentang Alquran dan agama Islam secara keseluruhan.
Aziz menyatakan bahwa semua usaha ini dilakukan sebagai bagian dari amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menegaskan bahwa negara harus hadir memberikan layanan dan menyediakan literasi keagamaan, termasuk kitab suci Alquran dalam bentuk Braille bagi penyandang disabilitas netra.
Dengan langkah-langkah ini, LPMQ berharap dapat terus memberikan pelayanan terbaik bagi umat Muslim tunanetra di Indonesia, sehingga mereka dapat lebih mudah mengakses Al-Quran dan memperdalam pemahaman agama mereka.