Hukum Pernikahan dalam Islam: Sunah atau Makruh?

ilustrasi pernikahan. (int)

Serambimuslim.com– Pernikahan dalam Islam umumnya dianggap sebagai sunah yang sangat dianjurkan.

Namun, terdapat berbagai pandangan fiqih yang menyebutkan bahwa dalam kondisi tertentu, pernikahan bisa menjadi makruh, bahkan jika seseorang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu yang seharusnya dimiliki dalam melangsungkan pernikahan.

Pandangan ini, khususnya, berasal dari mazhab al-Syafi’iyyah dan al-Malikiyah yang memiliki pendekatan berbeda dibandingkan dengan mayoritas ulama dari mazhab lain.

Dalam mazhab al-Syafi’iyyah, hukum asal pernikahan adalah sunah, namun bisa berubah menjadi makruh dalam kondisi-kondisi tertentu.

Salah satu kondisi yang menyebabkan pernikahan dihukumi makruh adalah ketika seseorang tidak memiliki kebutuhan biologis untuk menikah dan tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai untuk menafkahi keluarga.

Imam Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin menegaskan bahwa apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan fisik (syahwat) yang mendorongnya untuk menikah dan dari sisi ekonomi juga tidak mampu, maka pernikahan lebih baik untuk dihindari.

Selain itu, dalam pandangan mazhab ini, pernikahan juga dianggap makruh jika seseorang yang hendak menikah mengalami kondisi medis tertentu, seperti impotensi atau memiliki usia lanjut, yang menghalangi tujuan utama pernikahan, yaitu untuk memperoleh keturunan.

Dalam kondisi seperti ini, pernikahan tidak akan membawa manfaat besar bagi kedua belah pihak, terutama dalam menciptakan keluarga yang diharapkan.

Imam Nawawi menambahkan bahwa lebih baik bagi seseorang dalam kondisi seperti ini untuk memperbanyak ibadah, menghindari ketidakadilan terhadap pasangan, dan menghindari potensi kegagalan dalam mencapai tujuan pernikahan.

Pandangan mazhab al-Malikiyah terkait pernikahan dalam kondisi tertentu memiliki kesamaan dengan mazhab al-Syafi’iyyah.

Dalam pandangan mereka, pernikahan bisa dihukumi makruh apabila seseorang tidak memiliki syahwat atau gairah seksual untuk menikah.

Hal ini bisa terjadi pada orang yang tidak tertarik untuk membina hubungan suami-istri, baik karena kondisi fisik maupun psikologis yang menghalangi keinginan tersebut.

Selain itu, pernikahan juga bisa menjadi makruh jika justru mengganggu aktivitas ibadah sunnah seseorang.

Namun, mazhab al-Malikiyah juga menyebutkan bahwa jika pernikahan dapat memberikan manfaat, baik dalam hal meningkatkan kualitas ibadah maupun secara sosial, maka pernikahan tetap dianjurkan.

Misalnya, jika pernikahan dapat mengurangi potensi perbuatan dosa atau menambah keberkahan dalam hidup seseorang, maka pernikahan justru lebih baik dan dianjurkan.

Imam Nawawi, dalam hal ini, berpendapat bahwa bagi seseorang yang tidak memiliki syahwat atau kemampuan ekonomi yang cukup, lebih baik untuk memperbanyak ibadah.

Menikah dalam kondisi tersebut bisa berisiko menimbulkan ketidakadilan terhadap pasangan, dan bisa juga menghambat tujuan utama pernikahan, yakni menciptakan keturunan dan kehidupan keluarga yang harmonis. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini, memperbanyak ibadah dianggap lebih utama.

Di sisi lain, mayoritas ulama dari mazhab lain, seperti al-Hanafiyah, berpendapat bahwa menikah tetap lebih baik daripada tidak menikah, meskipun ada kekurangan dalam kondisi pribadi.

Menikah dianggap sebagai sunah Nabi Muhammad SAW yang memberikan banyak manfaat, baik dalam menjaga diri dari perbuatan dosa maupun dalam memberikan perlindungan sosial kepada pasangan.

Pernikahan, menurut pandangan ini, adalah jalan yang benar untuk menjaga kehormatan, menghindari fitnah, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Bahkan, banyak ulama yang menyatakan bahwa menikah adalah salah satu bentuk ibadah yang dapat membawa pahala, jika dilakukan dengan niat yang benar, yaitu untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

Menikah juga dianggap sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis manusia dengan cara yang sah menurut ajaran Islam.