Manusia Tanpa Karakter itu Mayat yang Berjalan

Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar.

SERAMBIMUSLIM.COM – Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan bahwa Indonesia saat ini membutuhkan ulama dan tokoh agama berkarakter. Karakter ini berguna untuk meneguhkan agar tidak mudah terombang-ambing dalam keadaan apa pun.

“Kita butuh, negara kita butuh, orang yang berkarakter. Manusia tanpa karakter itu seperti mayat yang berjalan,” kata KH Nasaruddin.

Ia menuturkan, menjadi seorang ulama dan tokoh agama berkarakter itu memang penuh dengan tantangan. Apalagi ulama berkarakter yang aktif menulis. Kelemahan ulama dan tokoh agama di Indonesia adalah kurangnya kebiasaan menulis.

KH Nasaruddin membandingkan ulama di Indonesia dengan di Mesir dan Timur Tengah. Menurutnya ulama mereka rajin menulis. Tak hanya menulis, tetapi tulisan mereka diperkaya dengan filsafat, logika, serta sejarah-sejarah klasik.

“Gampang menulis persoalan kontemporer, tetapi sulit menulis secara utuh dan komprehensif yang berakar dari sumber sejarah keilmuan itu sendiri. Kombinasi antara logos dan mitos ini sangat diperlukan,” ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa manusia primitif hidup dengan mitos, yang dalam bahasa Inggris disebut myth, bukan sesuatu yang negatif. Mitos dalam bahasa Indonesia sering dianggap negatif, padahal itu adalah keyakinan atau kepercayaan.

Manusia modern sekarang ini dipandu oleh logos, atau logika dan sains. Masyarakat tradisional mempertahankan hidupnya dengan mitos, tetapi manusia modern menenggelamkan mitos itu dan beralih ke logos.

“Sebagai umat beragama, kita perlu meninjau metodologi pembacaan kitab suci kita masing-masing. Jika selama ini metode pembacaan sangat deduktif, kita harus mengubahnya menjadi pendekatan induktif,” jelas Imam Besar Masjid Istiqlal itu.

Al Qur’an sendiri menganjurkan kita melakukan pendekatan induktif, seperti dalam ayat iqra’ bismirabbika. Tuhan tidak mengatakan bismirabbika iqra’, tetapi bacalah dengan menyebut nama Allah, pendekatannya induktif.

Masyarakat tradisional di-direct oleh mitos, dan meskipun lambat, mereka membutuhkan ribuan tahun untuk mencapai prestasi yang sama dengan manusia modern dalam beberapa dekade. Namun, logos tanpa mitos seperti sekarang ini menyebabkan kerusakan alam dan sosial.

Maka itu, kita kembali kepada Al Qur’an dengan pendekatan iqra’ bismirabbika. Tanpa iqra’ dan bismirabbik akan lahir monster, tetapi bismirabbik tanpa logika akan melahirkan manusia lumpuh.

Inilah semangat Al Qur’an dan semua kitab suci: iqra’ dan bismirabbik. Masyarakat masa depan membutuhkan perpaduan antara keduanya untuk menghindari malapetaka kemanusiaan.

“Ketimpangan antara keduanya bisa menyebabkan kemunduran atau mempercepat kehancuran dunia. Perkawinan antara iqra’ dan bismirabbik ini sangat sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan harus menjadi tujuan kita,” pesan KH Nasaruddin. (*)