Serambimuslim.com– Dalam Alquran, Allah SWT menyebutkan tentang hamba-hamba-Nya yang gemar melakukan ibadah pada malam hari, ketika sebagian besar manusia terlelap dalam tiduran mereka.
Bagi mereka, malam adalah waktu yang sangat istimewa, karena itulah waktu yang mereka pilih untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, memperbanyak ibadah, dan merenung tentang kehidupan serta tujuan mereka.
Allah SWT berfirman dalam Surah al-Muzzammil, ayat 6, yang menyatakan:
اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيۡلِ هِىَ اَشَدُّ وَطۡـاً وَّاَقۡوَمُ قِيۡلًا
“Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan”. (QS al-Muzzammil: 6)
Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya waktu malam dalam kehidupan seorang Muslim, khususnya dalam aspek spiritualitas dan kedekatan dengan Allah SWT.
Bangun malam dan beribadah di saat orang lain tidur bukan hanya membawa dampak positif bagi jiwa, tetapi juga memberikan kesempatan untuk lebih fokus, khusyuk, dan mendalam dalam beribadah.
Malam memberikan ketenangan dan ketentraman yang dibutuhkan untuk merenung dan berdoa.
Bagi sebagian besar orang, malam adalah waktu untuk tidur dan beristirahat setelah menjalani aktivitas seharian.
Mereka cenderung menarik diri dari pergaulan sosial dan pekerjaan mereka, dan memasuki fase kehidupan pribadi yang lebih tenang.
Dalam kondisi ini, mereka tidak lagi terganggu oleh rutinitas sehari-hari, sehingga tidur menjadi cara untuk memulihkan energi.
Namun, bagi mereka yang sadar akan pentingnya waktu malam, bangun untuk beribadah adalah suatu langkah yang jauh lebih besar maknanya.
Tidak tidur di malam hari bukan hanya sekedar keputusan untuk tidak beristirahat, tetapi juga mencerminkan tekad dan keseriusan seseorang dalam mengejar sesuatu yang lebih besar dalam hidupnya.
Apabila seseorang rela melewatkan waktu tidurnya untuk melakukan sesuatu yang penting, maka jelas itu menunjukkan betapa besarnya urgensi dari kegiatan tersebut.
Dalam konteks ini, bangun malam untuk beribadah menjadi pilihan yang sangat bermakna, karena itu menunjukkan kesungguhan hati dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki aktivitas yang berarti di malam hari, hidupnya mungkin akan terasa biasa saja, tanpa ada renungan yang mendalam atau tekad yang kuat.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa tidak ada penegasan dalam diri orang tersebut mengenai nilai-nilai hidup yang ingin dijalani.
Dalam Alquran, Allah SWT banyak menyebutkan tentang waktu malam, dan hal ini tidaklah tanpa alasan. Secara kuantitatif, kata “al-lail” (malam) beserta turunannya disebut sebanyak 92 kali dalam Alquran, sementara kata “an-nahar” (siang) hanya disebut sebanyak 57 kali. Selain itu, kata “as-subh” (subuh) disebut sebanyak 45 kali, kata “al-fajr” (fajar) 24 kali, dan kata “ad-dhuha” (matahari sepenggalah naik) tujuh kali, serta kata “al-‘ashr” (asar) lima kali.
Hal ini menunjukkan bahwa malam memiliki tempat yang sangat penting dalam pandangan Allah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Setiap kata yang digunakan dalam Alquran pasti mengandung makna dan petunjuk yang dalam, dan ini menggambarkan betapa malam merupakan waktu yang lebih penuh makna dalam kehidupan seorang Muslim.
Aktivitas di malam hari, terutama yang dilakukan untuk beribadah, memiliki dampak yang jauh lebih mendalam dibandingkan dengan kegiatan di siang hari.
Pada malam hari, suasananya lebih tenang dan penuh perenungan, yang memungkinkan seseorang untuk lebih fokus dalam beribadah, berzikir, dan bermunajat kepada Allah.
Tidak ada gangguan dari dunia luar, sehingga aktivitas ibadah seperti shalat tahajud dan doa dapat dilaksanakan dengan lebih khusyuk.
Allah SWT bahkan berjanji akan memberikan tempat terpuji bagi hamba-Nya yang menghidupkan malam dengan shalat tahajud dan amalan-amalan sunnah lainnya, seperti yang disebutkan dalam Surah al-Isra, ayat 79:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَصَلِّهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari, shalatlah kamu (untuk ibadah) tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS al-Isra: 79)
Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, membagi waktu malam menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk tidur, sepertiga kedua untuk shalat, dan sepertiga ketiga untuk wirid atau amalan yang sesuai dengan profesi atau jalan hidup seseorang.
Para ilmuwan, misalnya, akan menggunakan waktu malam untuk membaca, menulis, atau menyalin buku dan ilmu.
Sementara itu, mereka yang terjun dalam bidang politik, perdagangan, budaya, atau profesi lainnya bisa mengisinya dengan kegiatan yang sesuai dengan tujuan hidup mereka.
Dengan demikian, malam bukan hanya menjadi waktu untuk beristirahat, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengembangkan diri dalam berbagai aspek kehidupan.