Serambimuslim.com– Mahar atau maskawin merupakan pemberian yang wajib diberikan oleh pengantin pria kepada pengantin wanita pada saat akad nikah.
Pemberian mahar ini adalah hak istri, yang menjadi perlindungan dan simbol penghormatan terhadapnya. Dalam ajaran Islam, mahar memiliki kedudukan yang penting, bukan hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai bentuk kewajiban bagi suami terhadap istrinya.
Pemberian mahar ini harus dilakukan dengan penuh kerelaan dan keikhlasan, seperti yang dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 4.
وَأٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
Ayat ini menegaskan bahwa pemberian mahar adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami kepada istri, dan hal ini dilakukan dengan penuh kerelaan. Mahar menjadi hak istri yang harus dihormati dan diterima dengan baik.
Mahar yang diberikan dapat berupa apapun yang memiliki nilai dan manfaat, tanpa ada batasan jumlah tertentu. Namun, meskipun tidak ada ketentuan batasan yang pasti dalam jumlah mahar, Islam memberikan pedoman mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian mahar.
Meskipun mahar bisa berupa berbagai hal, ada beberapa ketentuan dalam Islam mengenai jenis-jenis mahar yang tidak diperbolehkan. Mahar yang tidak sesuai dengan syariat dapat menyebabkan masalah dalam pernikahan.
Berikut adalah beberapa jenis mahar yang dilarang dalam Islam:
1. Mahar yang Haram
Mahar yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara perolehannya, dilarang dalam Islam. Ini termasuk barang-barang yang haram, seperti alkohol (khamar), daging babi, atau barang-barang yang diperoleh melalui cara yang haram, seperti hasil curian atau judi.
Mahar yang haram ini tentu tidak boleh diberikan, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang mengajarkan untuk menjauhi segala sesuatu yang haram.
Sebagai contoh, jika pengantin pria berniat memberikan barang yang haram sebagai mahar, meskipun pengantin wanita setuju, maka pemberian tersebut tetap tidak sah menurut ajaran Islam. Sebagai pengganti, mahar yang diberikan harus suci dan memiliki manfaat bagi pengantin wanita.
2. Mahar yang Berlebihan
Islam tidak menentukan batasan minimal atau maksimal untuk mahar. Setiap pasangan bisa menentukan mahar sesuai dengan kemampuan dan keadaan ekonomi mereka.
Namun, Islam sangat menganjurkan untuk tidak meminta mahar yang berlebihan. Dalam buku Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, dijelaskan bahwa berlebihan dalam mahar dapat mengurangi keberkahan pernikahan.
Menurut Ibnu Qayyim dalam buku Fikih Sunnah Wanita karya Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, mahar yang berlebihan dapat menyulitkan pihak pria dan bahkan menimbulkan ketegangan dalam pernikahan.
Oleh karena itu, mahar yang besar dan memberatkan tidak disarankan karena dapat merusak keharmonisan rumah tangga.
3. Mahar yang Tidak Bernilai
Mahar yang diberikan dalam pernikahan haruslah memiliki nilai atau manfaat, meskipun nilainya bisa sangat sederhana.
Sebagai contoh, dalam salah satu hadits disebutkan bahwa seorang perempuan dari Bani Fazarah dinikahi dengan mahar berupa sepasang sandal.
Rasulullah SAW bertanya kepada pengantin wanita apakah ia merelakan mahar tersebut, dan ia menjawab “iya”.
Rasulullah pun menerima pernikahan tersebut, menunjukkan bahwa mahar tidak harus berupa barang yang mahal, asalkan kedua belah pihak setuju dan meridhoi.
Selain itu, Ummu Sulaim juga menikah dengan Abu Thalhah dengan mahar berupa keislaman Abu Thalhah. Dalam hal ini, mahar bisa berupa sesuatu yang lebih bersifat spiritual dan tidak harus berupa barang fisik. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bisa bervariasi, sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
4. Mahar yang Membebani
Meskipun tidak ada batasan tetap mengenai jumlah mahar, sangat tidak disarankan untuk menetapkan mahar yang terlalu besar atau memberatkan pihak pria. Hal ini dapat mengganggu kelancaran dan keharmonisan pernikahan.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah pernikahan yang paling ringan maharnya.” (HR Ahmad dan Baihaqi)
Hal ini menunjukkan bahwa semakin ringan mahar yang diberikan, semakin besar keberkahan yang akan diperoleh dalam pernikahan tersebut. Oleh karena itu, mahar yang sederhana dan tidak memberatkan akan lebih baik, baik bagi pria maupun wanita.
5. Mahar yang Cacat
Mahar yang cacat, baik secara fisik maupun kualitasnya, juga tidak dianjurkan dalam pernikahan. Meskipun pernikahan tetap sah meskipun mahar cacat, namun ada perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai apakah istri berhak meminta penggantian mahar atau tidak.
Sebagian ulama berpendapat bahwa istri berhak meminta mahar yang sesuai dengan nilai yang sebenarnya, baik dalam bentuk uang ataupun barang yang setara.